Selasa, 10 September 2013

Cerpen 'Kampung Jeglong'

Kampung Jeglong

Saat ini langit yang menaungi kota sangat cerah, bahkan terbilang terik. Aku mengemudikan mobil dengan perlahan karena seperti biasanya jalanan Jakarta yang penuh sesak kendaraan dengan beragam bentuk dan jenis. Semakin menambah sesak kehidupan ibukota. Dalam perjalanan menuju pinggiran kota ini kulihat anakku terlelap di pangkuan ayahnya yang juga nampak pulas, mungkin mereka lelah dengan perjalanan dalam rangka pindahan rumah yang telah kami tempuh dari Jawa Timur kemarin. Kalau tidak, tidak mungkin suamiku meminta aku untuk menggatikannya mengemudikan mobil. Alangkah bahagianya menatap sosok kedua laki-laki dalam hidupku ini. Si kecil yang nampak polos, kala sedang terjaga sesekali dia akan mengoceh polos khas anak balita, menghibur kami orang tuanya dan mampu menghapus penat setelah rutinitas sehari-hari yang harus kami dijalani.  Saat ini usia Ilham sudah hampir menginjak empat tahun. Sedang aktif-aktifnya bermain. Tingkahnya yang tak terduga sering kali menyulut gelak tawa seisi rumah. Ilham adalah buah hati pelengkap kebahagiaan keluarga kecilku bersama Mas Hendra.
Kualihkan pandanganku pada kaca jendela mobil di sebelah bangku Mas Hendra. Sungguh pemandangan yang bertolak belakang dengan kemegahan Jakarta yang selama ini dianggap gemerlap penuh kemewahan sebagai ibukota negara. Pemukiman dengan gubuk-gubuk kumuh yang berderet. Gubuk-gubuk yang dibangun dari material seadanya, kebanyakan gubuk di sini terbuat dari papan bekas, dengan atap asbes ataupun seng, tambalan sana-sini dengan menggunakan karung beras yang menggelantung. Bahkan banyak gubuk yang penuh dengan tambalan kardus sehingga biasa mendapat julukan rumah kardus. Gambaran sisi lain kota yang disebut metropolitan, sungguh mencengangkan.
Mobilku yang tadi merayap akhirnya mendekati pertigaan, setelah memberi kode untuk berbelok, kini kuputar setir mobil ke kiri yang membawa kami masuk perkampungan kumuh yang sejak tadi terus mencuri perhatianku.
Jleeegggg.
”Kenapa, Bun?” tanya mas Indra spontan membuka mata, mungkin karena kaget akibat goncangan yang terlalu keras.
“Sepertinya roda mobilnya terperosok lubang, Yah.” jawabku sekenanya.
“Hati-hati bun, sini biar ayah gantikan saja menyetirnya.” ujarnya dibarengi dengan gerakan menarik lengan ke atas untuk meregangkan sendi dan otot-otot yang kaku setelah bangun tidur.
“Ayah sudah tidak mengantuk lagi kan?”
“Udah nggak kok, Bun” sahut suamiku tersenyum sambil mengisyaratkan agar kami tukar posisi duduk.
Kini Mas Hendra sudah ada di belakang kemudi mobil. Dengan perlahan mobil kembali berjalan, Mas Hendra menyetir dengan hati-hati karena jalanan yang cukup sempit ini berbatu dengan kubangan air di sana-sini. Pemandangan yang lama tak aku jumpai, terakhir berbaur dengan lingkungan yang seperti ini yaitu sekitar empat tahun silam saat aku mengandung Ilham. Ketika itu aku datang sekadar berpamitan pada keluarga pak dhe bahwa aku akan segera mengikuti suami yang dipindah tugaskan ke Jawa Timur.
Aku membuka kaca mobil melongokan kepala melihat sekeliling, seketika bau sengak menyeruak memenuhi indra penciumanku. Melihat Ilham yang terlelap dalam pangkuanku sedang menggaruk hidung dan mendengus tanda tidak nyaman dengan bau ini, segera kututup kembali kaca mobil. Pemandangan dan aroma seperti ini membawaku untuk membuka memori. Sebuah kenangan muncul untuk diingat kembali. Kenangan dan rasa penasaran yang menggatung untuk segera dituntut kejelasannya. Maka inilah salah satu alasanku untuk datang kesini, ada dorongan magis tersendiri yang sebenarnya merupakan tuntutan atas apa yang selama ini kurindukan agar secepatnya mendapat jawaban. Entah apa itu.
“Bun, jalanan disini nggak pernah diperbaiki apa ya, kok dari dulu keadaannya tetap sama seperti ini. Jalannya bergelombang, penuh lubang dengan kubangan air sana-sini, jadi becek.”
“Ya beginilah Yah keadaan Kampung Jeglong dari dulu memang terkesan tidak berubah.”
“Oh ya Bun, dari dulu ayah selalu penasaran ingin menanyakan kenapa kampung ini diberi nama Kampung Jeglong. Unik.” tanya suamiku penasaran diiringi dengan tawanya yang renyah.
“Seperti yang kita lihat ini Yah, banyak lubang di jalan, kubangan air dimana-mana. Kalau kata orang sini yang notabene banyak yang berasal dari Jawa ‘jeglong’ itu berarti terperosok dalam lubang atau kubangan. Jalan yang banyak lubang ini bisa menyebabkan ke-jeglong-jeglong. Nah, disebutlah kampung ini kampung jeglong. Dan memang daerah ini nampak seperti kubangan karena datarannya yang lebih rendah dari daerah lain, sehingga menjadi langganan banjir. Jadi ketika banjir ya seperti kubangan. ”
“Oalah, begitu to Bun ceritanya. Warga sini kreatif ya menamai kampungnya.” canda Mas Hendra.
“Tidak hanya kreatif menamai kampung Yah, warga sini juga punya inisiatif tinggi mengolah limbah sisa rumah tangga, sampah atau bahkan rongsokan. Sebenarnya sih karena tuntutan ekonomi, namun ini yang membuat mereka menjadi jeli, menyulap sampah jadi rupiah.”
“Bunda teringat masa lalu bunda, ya?”
“Sedikit terbawa suasana Yah, bunda dulu juga pernah merasakan pahitnya kehidupan disini. Bersyukur sekarang hidup bunda sudah enak. Dulu sekadar untuk makan saja susah. Harus ikut nenek mengais rongsokan disepanjang jalan yang kiranya bisa dijual baru bisa beli sebungkus nasi yang bisa kami makan berdua.”
“Maaf Bun, apakah Bunda tidak pernah merasa sakit hati kepada bapak yang dari kecil menelantarkan bunda?”
“Dulu pernah terbesit rasa benci dan sakit hati, tapi sebenarnya bunda juga merasa rindu akan kasih sayang seorang bapak yang dari lahir tidak pernah bunda dapatkan. Lambat laun bunda mulai mengerti bahwa ini semua bukan karena bapak yang ingin melepaskan tanggungjawabnya sebagai kepala rumah tangga, tapi karena tekad bapak yang ingin membahagiakan istri dan ibunya.”
“Apa bapak dulu tidak pernah memberi kabar selama kepergiannya?”
“Sampai saat ini bunda tidak pernah menerima kabar ataupun mengetahui keberadaan bapak. Cerita nenek, dulu bapak terpaksa pergi menjadi TKI karena desakan ekonomi. Setelah menikah  beban bapak semakin bertambah. Bapak harus menghidupi ibu dan nenek. Saat itu usia pernikahan bapak dan ibu baru tiga bulan, karena hasil memulung dirasa tidak cukup untuk memenuhi tuntutan hidup, maka bapak putuskan untuk pergi ke negeri seberang sebagai TKI. Itu pun harus dengan embel-embel TKI ilegal, karena bapak tidak memiliki cukup biaya untuk mengurus segala prosedur keberangkatannya.”
“Lalu bagaimana kehidupan bunda selepas bapak pergi?”
“Saat itu bunda belum lahir, sebulan setelah kepergian bapak, ibu baru menyadari bahwa dia sedang mengandung. Dengan susah payah ibu menjaga kandungannya, berusaha memberikan yang terbaik terhadap janinnya walau dengan keadaan yang sangat terbatas. Setiap hari ibu selalu turut membantu nenek untuk memulung, menyusuri jalanan memungut rongsokan dan sore harinya menyetor hasilnya memulung ke tempat pak dhe.”
“Ke tempat Pak Dhe Hasan?”
“Ya, Yah. Pak Dhe Hasan. Orang yang sangat berjasa terhadap hidup bunda dan keluarga bunda. Walau dengan hidupnya yang sederhana, pak dhe senantiasa berusaha untuk membantu para tetangganya. Awal kedekatan keluarga bunda dan keluarga pak dhe karena setiap sorenya nenek dan ibu memang selalu menyetor hasil pulungannya kesana. Selain itu mungkin karena mereka punya latar belakang yang sama. Sama-sama dari orang daerah yang hendak mencari keberuntungan mengadu nasib di ibukota, namun bukan mujur yang diraih, mereka tetap menjadi orang dengan ekonomi di bawah rata-rata bahkan setelah jauh-jauh datang ke Jakarta yang banyak orang bilang lebih kejam daripada ibu tiri.” sahutku mengenang.
“Sampai akhirnya nenek mempercayakan hak asuh bunda pada keluarga pak dhe?”
“Sepeninggal nenek tidak ada sanak saudara yang bisa menampung bunda. Hanya pak dhe kerabat yang bisa nenek percaya. Dulu nenek pernah mengutarakan keinginannya untuk menyekolahkan bunda kepada pak dhe. Dengan harapan agar bunda tidak menjadi kaum tak terpelajar seperti mereka. Nenek ingin agar bunda bisa memiliki nasib yang lebih baik dari mereka. Oleh karena itu nenek selalu menyisihkan sedikit uang untuk ditabung dengan cara dititipkan kepada pak dhe berupa potongan dari setiap uang bayarannya dari menyetor rongsokan. Hal ini nenek lakukan untuk menjaga suatu ketika kalau-kalau  terjadi sesuatu yang buruk terhadapnya sehingga tidak ada lagi yang bisa menghidupi bunda. Memang tidak banyak yang bisa nenek tinggalkan untuk bunda, namun pak dhe selalu ikhlas untuk mencukupi segala kebutuhan bunda setelah bunda diadopsi olehnya.”
“Bu dhe Asih pun memberikan kasih sayang layaknya ibu kandung. Kasih sayang yang sama seperti yang pak dhe dan bu dhe berikan terhadap Mas Aryo dan Mbak Dewi, anak kandung mereka. Walaupun bunda tidak bisa membandingkan kasih sayang orang tua kandung itu seperti apa, karena bapak pergi sebelum dirinya mengetahui bahwa bunda akan segera hadir di dunia sebagai anaknya. Dan ibu sendiri meninggal sesaat setelah melahirkan bunda.” aku sedikit mendengus mengenang masa-masa itu. “Tapi bunda yakin, ibu adalah sosok ibu yang baik. Hanya saja takdir berkehendak seperti ini. Keadaan kami yang tergolong kekurangan sehingga ketika persalinan ibu tidak bisa mendapatkan pelayanan medis yang layak, hanya dengan bantuan dukun bayi saja. Pendarahan pasca melahirkan tak terelakkan, yang justru menghantarkan ibu untuk meregang nyawa. Bunda tidak pernah mengutuk Tuhan mengapa harus memberikan ujian yang seberat ini ketika bunda masih berusia belia. Ditinggalkan bapak, tidak pernah mengecap manisnya kasih sayang orang tua setelah ibu meninggal. Bahkan nenek yang sebagai tumpuan hidup bunda satu-satunya harus berpulang saat bunda masih berusia enam tahun. Sungguh waktu yang singkat sekadar menikmati hidup dengan keluarga kandung.”
“Sudahlah Bun jangan memikirkan yang telah lalu, semua hanya menggorekan luka. Ambil hikmahnya saja. Yang penting kini hidup kita telah sejahtera, dan kebahagiaan ini harus kita bagi dengan orang-orang yang dulu berjasa membesarkan jiwa bunda untuk tetap bertahan dan berjuang dalam menghadapi cobaan” sahut Mas Hendra menguatkan sembari menyetir yang ternyata sejak tadi ia setia mendengarkan ocehanku.
“Ya Yah, bunda hanya hanyut dalam kenangan masa lalu. Dan tujuan bunda kesini selain menyambung silaturahmi dengan penduduk kampung ini juga karena ingin memberitahukan kepada Ilham bahwa hidup itu penuh perjuangan. Tidak serta-merta spontan, segalanya tidaklah instan. Agar dia bisa menghargai sesama. Dan menghargai artinya kerja keras, usaha, berjuang, bertahan dari segala hantaman cobaan hidup.”
“Ayah salut dengan bunda, dan bersyukur bisa memiliki istri yang hebat seperti bunda.” puji Mas Hendra yang jujur saja membuatku tersipu.
“Yah tolong pelankan laju mobilnya, dan berhenti dekat bapak itu, ya!”
Dari jarak sekitar sepuluh meter di depan ada pemandangan yang berhasil mengalihkan perhatianku. Aku melihat sosok tinggi kurus dengan kulit legam  namun, rahang dan alur wajahnya sangat tegas berkarakter. Seorang bapak usia lima puluhan sedang membungkuk di sisi kiri badan jalan berusaha mendorong gerobak untuk membebaskan salah satu roda yang terjebak dalam kubangan. Dengan perlahan roda mobil tetap menggelinding, setelah jarak dirasa dekat segera Mas Hendra mematikan mesin mobil dan aku melangkah keluar setelah memindahkan Ilham yang masih terlelap di jok belakang.
“Selamat sore, Bapak.” sapaku berusaha tidak mengagetkan bapak yang sedang berkonsentrasi membebaskan ban gerobaknya.
“Eh,... sore juga, Neng.” sahut bapak itu dengan sunggingan senyum di wajahnya. Sungguh menentramkan hati ketika sapaanku disambut hangat.
Dengan melonggokan kepalanya dari jendela mobil Mas Hendra memberikan anggukan kecil membalas senyuman bapak yang juga ditujukan kepadanya.
“Bapak baru pulang kerja, ya? Mau pulang di daerah mana, Pak?” tanya Mas Hendra.
“Ya Nak, bapak baru pulang kerja, tapi tidak langsung balik rumah. Mau menukar rongsokan ini jadi uang dulu.” sambil kepalanya mengisyarat menunjuk isi gerobak ada tawa di sela-sela jawabannya.
“Biasa setor barang dimana, Pak?” ganti aku yang melontarkan pertanyaan.
“Di tempatnya Pak Hasan, sebentar Mas dan Eneng ini dari mana ya? sepertinya kok sudah akrab dengan daerah sini”
“Saya dari kota, Pak. Oh, kebetulan sekali saya juga ingin mengunjungi kediaman Pak Hasan namun agak lupa jalannya. Sudah lama terakhir kesini. Empat tahun lalu. Boleh kami mengiringi bapak?”
“Oh silakan Neng, bapak malah senang ada temannya.” Aku pun segera kembali masuk ke dalam mobil sedangkan sang bapak sudah bisa menguasai gerobaknya. Perlahan didorongnya gerobak dan mobil kembali menapaki jalan becek itu perlahan. Kami saling beriringan.
Setibanya di halaman rumah Pak Hasan yang akrab kusapa pak dhe ini, ia sedang sibuk dengan bandul-bandul timbangan ditangannya dan mata yang awas menatap garis-garis timbangan seketika tercengang dengan apa yang dilihatnya. Aku berhasil mengalihkan seluruh perhatian pak dhe.
“Ya Allah Rena. Buk,.. Buk keluar sini! Ini ada anak wedok kita yang datang.” setengah berteriak sosok pak dhe yang memakai kaos putih polos dengan kain sarung tak lupa peci yang selalu  dikenakannya nampak tidak berubah sejak terakhir bertemu. Pak dhe memanggil Bu Dhe Asih yang ada di dalam rumah dengan nada kegirangan. Tak hanya bu dhe yang keluar, bapak yang tadi bersama kami pun tercengang berpaling dari kegiatannya yang sedang mengeluarkan rongsokan dari gerobak setelah mendengar seruan pak dhe yang lumayan keras.
Mas Hendra dan aku pun melenggang dari mobil menghampiri sambil menenteng kantong plastik berisi bingkisan untuk mereka.
“Rena?” ucap bapak itu seraya menghampiri Pak Dhe. Aku turut menoleh melihat bapak itu. Apa bapak ini mengenaliku. Tanyaku dalam hati.
“Pak Hasan, apakah ini Rena yang .....”
Belum selesai pertanyaan yang diajukan bapak itu, pak dhe pun sudah mengangguk, mengiyakan pertanyaan yang menggantung itu “Iya Pak. Ini Rena anakmu. Anak kita. Cantik seperti Retno sewaktu dulu, kan?”
Aku yang sudah berfirasat sejak tadi mulai mengerti untuk membaca keadaan yang terjadi sekarang. Sejak bertemu dengan bapak di jalan menuju rumah pak dhe tadi sepertinya aku dituntun untuk larut dalam kilasan-kilasan masa lalunya. Entah mengapa ada spekulasi-spekulasi yang hadir dari keadaan tentram yang tiba-tiba kudapatkan. Wajah bapak itu mirip dengan foto yang selalu nenek tunjukkan padaku sewaktu kecil dulu. Cerita-cerita yang aku dapatkan dari nenek dan pak dhe turut menghiasi benakku yang sedang mengembangkan imajinasi sepanjang jalan. Tidak mau berharap lebih namun ada sedikit kilatan cahaya harapan untuk menjawab rasa penasaran di benak ini. Mungkin angan. Geli sendiri saat aku menyusuri dan menerka jawaban apa yang akan kudapatkan nanti. Namun ada keyakinan tersendiri yang membuatku semakin kuat berimajinasi.
“Pak Dhe, apa benar ini bapak Rena yang sejak saya masih dikandungan ibu dulu belum sempat ada yang mengetahui keberadaannya?” tanyaku terlontar spontan dengan wajah hampir tak percaya.
“Ya Nak ini bapak kandung kamu. Pak Sutrisna. Beliau ini yang pergi untuk mencoba mengadu keberuntungan di negeri orang dengan tujuan untuk memperbaiki kondisi ekonomi keluarga kalian. Walau harus mempertaruhkan dirinya menjadi TKI ilegal disana. Dan kamu harus tahu bahwa nenek kamu dulu menamai kamu dengan nama ‘Rena’ karena ‘Rena’ adalah kependekan nama kedua orang tuamu. Retno-Trisna. Yang nenekmu pikir ini bisa menjadi alat untuk mempertemukan kalian. Maka inilah kebesaran-Nya, bapak dan anak yang terpisah selama 25 tahun lebih, bahkan belum sempat bertemu sejak kamu dalam kandungan ibumu. Sore ini atas kuasa-Nya dipertemukan kembali.” jawaban pak dhe sungguh melegakan, seperti diri diloloskan dari kungkungan penjara. Sejenak ada hawa sejuk yang menghampiri.
“Alhamdulillah Pak Dhe. Rena sangat bersyukur. Tadi dari rumah Rena sudah mengharapkan mendapat suatu kejutan. Ada dorongan tersendiri, tak tahu firasat atau isyarat yang membuat Rena ingin segera kesini. Ternyata ikatan batin yang menuntun Rena kesini untuk bertemu bapak. Tuhan menjawab doa Rena selama ini. Rena ingin berkumpul kembali dengan bapak. Ingin membalas masa-masa yang terenggut keadaan dulu.” Ungkapku penuh senyum dan syukur,  keharuan sehingga hampir terisak.
“Maafkan bapak, Nak. Selama ini bapak telah lalai, terlalu hanyut dengan keadaan. Bukan bapak tidak berusaha mencarimu, tapi bapak tidak kuasa. Bertahun-tahun terlunta-lunta di negeri orang akhirnya atas bantuan seorang teman bapak bisa kembali kesini lagi. Baru setengah tahun ini bapak kembali. Ingin mencari langsung mencari kamu tapi kata Pak Hasan lebih baik bapak menunggu saja karena kamu sedang di luar kota mengikuti suamimu tugas. Semakin senang bapak mendengar kamu akan segera kembali. Bapak sangat berterima kasih terhadap Pak Dhe yang selama ini mau merawat kamu. Menjaga kamu untuk bapak, ibu dan nenek. Besok kita berkunjung ke makan mereka, mau Nak? Mulai saat ini bapak ingin selalu bersama kamu, bapak tidak mau keluarga kita terpecah belah lagi. ” tutur bapak.
“Ya, Pak. Rena mau, Pak.” jawabku mengamini. “Oh ya Pak, kenalkaan ini Mas Hendra, suamiku. Menantu bapak. Aku memperkenlkan dengan haru.
“Saya Hendra, Pak.” Ucap suamiku sambil menjabat tangan bapak.
“Saya Sutrisna. Nak Hendra, terima kasih telah membantu bapak untuk menjaga Rena. Maaf bapak tidak bisa mendampingi Rena bahkan ketika pernikahan kalian dulu.”
“Bunda!” sosok Ilham muncul dari mobil dengan langkah sempoyongan bangun tidur. Bocah lelaki mungil ini segera jatuh dalam rangkulanku.
“Masih ngantuk ya, Sayang? Salam dulu sama Eyang kakung!” dari gendonganku Ilham bersalaman dengan eyangnya. Dan untuk pertama kalinya juga aku bersalaman dengan bapakku.
“Duh Cah Bagus cucu eyang. Sini ikut eyang, Nak! Tapi masih kecut.” Sejenak Ilham sudah berpindah gendongan.
“Sudah ayo temu kangenya dilanjut di dalam saja biar lebih nyaman.” Bu dhe mempersilahkan masuk.
Dari dalam rumah tercipta suasana riuh obrolan dan gelak tawa kami. Sore yang teduh di Kampung Jeglong ini menjadi saksi pertemuan yang tak terduga antara aku dan bapak. Sebuah pertemuan sederhana yang menjadi titik ujung pencarian atas segudang pertanyaan-pertanyaanku yang membutuhkan jawaban pasti. Memang kedatanganku kali ini untuk menjemput kasih yang belum sempat aku kecap dari bapak. Rencana Tuhan memang penuh kejutan. Jawaban Tuhan atas doa umatnya hanya ada tiga ‘ya’, ‘tidak’, dan ‘tunggu’. Aku memutuskan untuk menunggu selama ini. Dan Tuhan mengiyakan pintaku. Bersyukur sekali atas apa yang telah kudapatkan. Hari selanjutnya menjadi hakku bersama bapak untuk mengukir kisah yang kami kehendaki setelah selama ini kami telah memainkan skenario dengan keadaan yang kurang mengesankan karena ‘keterbatasan’.

-SEKIAN-
Semarang, 24 April 2013

Esti Kurnia Dewi

Cerpen 'Kampung Jeglong'

Kampung Jeglong

Saat ini langit yang menaungi kota sangat cerah, bahkan terbilang terik. Aku mengemudikan mobil dengan perlahan karena seperti biasanya jalanan Jakarta yang penuh sesak kendaraan dengan beragam bentuk dan jenis. Semakin menambah sesak kehidupan ibukota. Dalam perjalanan menuju pinggiran kota ini kulihat anakku terlelap di pangkuan ayahnya yang juga nampak pulas, mungkin mereka lelah dengan perjalanan dalam rangka pindahan rumah yang telah kami tempuh dari Jawa Timur kemarin. Kalau tidak, tidak mungkin suamiku meminta aku untuk menggatikannya mengemudikan mobil. Alangkah bahagianya menatap sosok kedua laki-laki dalam hidupku ini. Si kecil yang nampak polos, kala sedang terjaga sesekali dia akan mengoceh polos khas anak balita, menghibur kami orang tuanya dan mampu menghapus penat setelah rutinitas sehari-hari yang harus kami dijalani.  Saat ini usia Ilham sudah hampir menginjak empat tahun. Sedang aktif-aktifnya bermain. Tingkahnya yang tak terduga sering kali menyulut gelak tawa seisi rumah. Ilham adalah buah hati pelengkap kebahagiaan keluarga kecilku bersama Mas Hendra.
Kualihkan pandanganku pada kaca jendela mobil di sebelah bangku Mas Hendra. Sungguh pemandangan yang bertolak belakang dengan kemegahan Jakarta yang selama ini dianggap gemerlap penuh kemewahan sebagai ibukota negara. Pemukiman dengan gubuk-gubuk kumuh yang berderet. Gubuk-gubuk yang dibangun dari material seadanya, kebanyakan gubuk di sini terbuat dari papan bekas, dengan atap asbes ataupun seng, tambalan sana-sini dengan menggunakan karung beras yang menggelantung. Bahkan banyak gubuk yang penuh dengan tambalan kardus sehingga biasa mendapat julukan rumah kardus. Gambaran sisi lain kota yang disebut metropolitan, sungguh mencengangkan.
Mobilku yang tadi merayap akhirnya mendekati pertigaan, setelah memberi kode untuk berbelok, kini kuputar setir mobil ke kiri yang membawa kami masuk perkampungan kumuh yang sejak tadi terus mencuri perhatianku.
Jleeegggg.
”Kenapa, Bun?” tanya mas Indra spontan membuka mata, mungkin karena kaget akibat goncangan yang terlalu keras.
“Sepertinya roda mobilnya terperosok lubang, Yah.” jawabku sekenanya.
“Hati-hati bun, sini biar ayah gantikan saja menyetirnya.” ujarnya dibarengi dengan gerakan menarik lengan ke atas untuk meregangkan sendi dan otot-otot yang kaku setelah bangun tidur.
“Ayah sudah tidak mengantuk lagi kan?”
“Udah nggak kok, Bun” sahut suamiku tersenyum sambil mengisyaratkan agar kami tukar posisi duduk.
Kini Mas Hendra sudah ada di belakang kemudi mobil. Dengan perlahan mobil kembali berjalan, Mas Hendra menyetir dengan hati-hati karena jalanan yang cukup sempit ini berbatu dengan kubangan air di sana-sini. Pemandangan yang lama tak aku jumpai, terakhir berbaur dengan lingkungan yang seperti ini yaitu sekitar empat tahun silam saat aku mengandung Ilham. Ketika itu aku datang sekadar berpamitan pada keluarga pak dhe bahwa aku akan segera mengikuti suami yang dipindah tugaskan ke Jawa Timur.
Aku membuka kaca mobil melongokan kepala melihat sekeliling, seketika bau sengak menyeruak memenuhi indra penciumanku. Melihat Ilham yang terlelap dalam pangkuanku sedang menggaruk hidung dan mendengus tanda tidak nyaman dengan bau ini, segera kututup kembali kaca mobil. Pemandangan dan aroma seperti ini membawaku untuk membuka memori. Sebuah kenangan muncul untuk diingat kembali. Kenangan dan rasa penasaran yang menggatung untuk segera dituntut kejelasannya. Maka inilah salah satu alasanku untuk datang kesini, ada dorongan magis tersendiri yang sebenarnya merupakan tuntutan atas apa yang selama ini kurindukan agar secepatnya mendapat jawaban. Entah apa itu.
“Bun, jalanan disini nggak pernah diperbaiki apa ya, kok dari dulu keadaannya tetap sama seperti ini. Jalannya bergelombang, penuh lubang dengan kubangan air sana-sini, jadi becek.”
“Ya beginilah Yah keadaan Kampung Jeglong dari dulu memang terkesan tidak berubah.”
“Oh ya Bun, dari dulu ayah selalu penasaran ingin menanyakan kenapa kampung ini diberi nama Kampung Jeglong. Unik.” tanya suamiku penasaran diiringi dengan tawanya yang renyah.
“Seperti yang kita lihat ini Yah, banyak lubang di jalan, kubangan air dimana-mana. Kalau kata orang sini yang notabene banyak yang berasal dari Jawa ‘jeglong’ itu berarti terperosok dalam lubang atau kubangan. Jalan yang banyak lubang ini bisa menyebabkan ke-jeglong-jeglong. Nah, disebutlah kampung ini kampung jeglong. Dan memang daerah ini nampak seperti kubangan karena datarannya yang lebih rendah dari daerah lain, sehingga menjadi langganan banjir. Jadi ketika banjir ya seperti kubangan. ”
“Oalah, begitu to Bun ceritanya. Warga sini kreatif ya menamai kampungnya.” canda Mas Hendra.
“Tidak hanya kreatif menamai kampung Yah, warga sini juga punya inisiatif tinggi mengolah limbah sisa rumah tangga, sampah atau bahkan rongsokan. Sebenarnya sih karena tuntutan ekonomi, namun ini yang membuat mereka menjadi jeli, menyulap sampah jadi rupiah.”
“Bunda teringat masa lalu bunda, ya?”
“Sedikit terbawa suasana Yah, bunda dulu juga pernah merasakan pahitnya kehidupan disini. Bersyukur sekarang hidup bunda sudah enak. Dulu sekadar untuk makan saja susah. Harus ikut nenek mengais rongsokan disepanjang jalan yang kiranya bisa dijual baru bisa beli sebungkus nasi yang bisa kami makan berdua.”
“Maaf Bun, apakah Bunda tidak pernah merasa sakit hati kepada bapak yang dari kecil menelantarkan bunda?”
“Dulu pernah terbesit rasa benci dan sakit hati, tapi sebenarnya bunda juga merasa rindu akan kasih sayang seorang bapak yang dari lahir tidak pernah bunda dapatkan. Lambat laun bunda mulai mengerti bahwa ini semua bukan karena bapak yang ingin melepaskan tanggungjawabnya sebagai kepala rumah tangga, tapi karena tekad bapak yang ingin membahagiakan istri dan ibunya.”
“Apa bapak dulu tidak pernah memberi kabar selama kepergiannya?”
“Sampai saat ini bunda tidak pernah menerima kabar ataupun mengetahui keberadaan bapak. Cerita nenek, dulu bapak terpaksa pergi menjadi TKI karena desakan ekonomi. Setelah menikah  beban bapak semakin bertambah. Bapak harus menghidupi ibu dan nenek. Saat itu usia pernikahan bapak dan ibu baru tiga bulan, karena hasil memulung dirasa tidak cukup untuk memenuhi tuntutan hidup, maka bapak putuskan untuk pergi ke negeri seberang sebagai TKI. Itu pun harus dengan embel-embel TKI ilegal, karena bapak tidak memiliki cukup biaya untuk mengurus segala prosedur keberangkatannya.”
“Lalu bagaimana kehidupan bunda selepas bapak pergi?”
“Saat itu bunda belum lahir, sebulan setelah kepergian bapak, ibu baru menyadari bahwa dia sedang mengandung. Dengan susah payah ibu menjaga kandungannya, berusaha memberikan yang terbaik terhadap janinnya walau dengan keadaan yang sangat terbatas. Setiap hari ibu selalu turut membantu nenek untuk memulung, menyusuri jalanan memungut rongsokan dan sore harinya menyetor hasilnya memulung ke tempat pak dhe.”
“Ke tempat Pak Dhe Hasan?”
“Ya, Yah. Pak Dhe Hasan. Orang yang sangat berjasa terhadap hidup bunda dan keluarga bunda. Walau dengan hidupnya yang sederhana, pak dhe senantiasa berusaha untuk membantu para tetangganya. Awal kedekatan keluarga bunda dan keluarga pak dhe karena setiap sorenya nenek dan ibu memang selalu menyetor hasil pulungannya kesana. Selain itu mungkin karena mereka punya latar belakang yang sama. Sama-sama dari orang daerah yang hendak mencari keberuntungan mengadu nasib di ibukota, namun bukan mujur yang diraih, mereka tetap menjadi orang dengan ekonomi di bawah rata-rata bahkan setelah jauh-jauh datang ke Jakarta yang banyak orang bilang lebih kejam daripada ibu tiri.” sahutku mengenang.
“Sampai akhirnya nenek mempercayakan hak asuh bunda pada keluarga pak dhe?”
“Sepeninggal nenek tidak ada sanak saudara yang bisa menampung bunda. Hanya pak dhe kerabat yang bisa nenek percaya. Dulu nenek pernah mengutarakan keinginannya untuk menyekolahkan bunda kepada pak dhe. Dengan harapan agar bunda tidak menjadi kaum tak terpelajar seperti mereka. Nenek ingin agar bunda bisa memiliki nasib yang lebih baik dari mereka. Oleh karena itu nenek selalu menyisihkan sedikit uang untuk ditabung dengan cara dititipkan kepada pak dhe berupa potongan dari setiap uang bayarannya dari menyetor rongsokan. Hal ini nenek lakukan untuk menjaga suatu ketika kalau-kalau  terjadi sesuatu yang buruk terhadapnya sehingga tidak ada lagi yang bisa menghidupi bunda. Memang tidak banyak yang bisa nenek tinggalkan untuk bunda, namun pak dhe selalu ikhlas untuk mencukupi segala kebutuhan bunda setelah bunda diadopsi olehnya.”
“Bu dhe Asih pun memberikan kasih sayang layaknya ibu kandung. Kasih sayang yang sama seperti yang pak dhe dan bu dhe berikan terhadap Mas Aryo dan Mbak Dewi, anak kandung mereka. Walaupun bunda tidak bisa membandingkan kasih sayang orang tua kandung itu seperti apa, karena bapak pergi sebelum dirinya mengetahui bahwa bunda akan segera hadir di dunia sebagai anaknya. Dan ibu sendiri meninggal sesaat setelah melahirkan bunda.” aku sedikit mendengus mengenang masa-masa itu. “Tapi bunda yakin, ibu adalah sosok ibu yang baik. Hanya saja takdir berkehendak seperti ini. Keadaan kami yang tergolong kekurangan sehingga ketika persalinan ibu tidak bisa mendapatkan pelayanan medis yang layak, hanya dengan bantuan dukun bayi saja. Pendarahan pasca melahirkan tak terelakkan, yang justru menghantarkan ibu untuk meregang nyawa. Bunda tidak pernah mengutuk Tuhan mengapa harus memberikan ujian yang seberat ini ketika bunda masih berusia belia. Ditinggalkan bapak, tidak pernah mengecap manisnya kasih sayang orang tua setelah ibu meninggal. Bahkan nenek yang sebagai tumpuan hidup bunda satu-satunya harus berpulang saat bunda masih berusia enam tahun. Sungguh waktu yang singkat sekadar menikmati hidup dengan keluarga kandung.”
“Sudahlah Bun jangan memikirkan yang telah lalu, semua hanya menggorekan luka. Ambil hikmahnya saja. Yang penting kini hidup kita telah sejahtera, dan kebahagiaan ini harus kita bagi dengan orang-orang yang dulu berjasa membesarkan jiwa bunda untuk tetap bertahan dan berjuang dalam menghadapi cobaan” sahut Mas Hendra menguatkan sembari menyetir yang ternyata sejak tadi ia setia mendengarkan ocehanku.
“Ya Yah, bunda hanya hanyut dalam kenangan masa lalu. Dan tujuan bunda kesini selain menyambung silaturahmi dengan penduduk kampung ini juga karena ingin memberitahukan kepada Ilham bahwa hidup itu penuh perjuangan. Tidak serta-merta spontan, segalanya tidaklah instan. Agar dia bisa menghargai sesama. Dan menghargai artinya kerja keras, usaha, berjuang, bertahan dari segala hantaman cobaan hidup.”
“Ayah salut dengan bunda, dan bersyukur bisa memiliki istri yang hebat seperti bunda.” puji Mas Hendra yang jujur saja membuatku tersipu.
“Yah tolong pelankan laju mobilnya, dan berhenti dekat bapak itu, ya!”
Dari jarak sekitar sepuluh meter di depan ada pemandangan yang berhasil mengalihkan perhatianku. Aku melihat sosok tinggi kurus dengan kulit legam  namun, rahang dan alur wajahnya sangat tegas berkarakter. Seorang bapak usia lima puluhan sedang membungkuk di sisi kiri badan jalan berusaha mendorong gerobak untuk membebaskan salah satu roda yang terjebak dalam kubangan. Dengan perlahan roda mobil tetap menggelinding, setelah jarak dirasa dekat segera Mas Hendra mematikan mesin mobil dan aku melangkah keluar setelah memindahkan Ilham yang masih terlelap di jok belakang.
“Selamat sore, Bapak.” sapaku berusaha tidak mengagetkan bapak yang sedang berkonsentrasi membebaskan ban gerobaknya.
“Eh,... sore juga, Neng.” sahut bapak itu dengan sunggingan senyum di wajahnya. Sungguh menentramkan hati ketika sapaanku disambut hangat.
Dengan melonggokan kepalanya dari jendela mobil Mas Hendra memberikan anggukan kecil membalas senyuman bapak yang juga ditujukan kepadanya.
“Bapak baru pulang kerja, ya? Mau pulang di daerah mana, Pak?” tanya Mas Hendra.
“Ya Nak, bapak baru pulang kerja, tapi tidak langsung balik rumah. Mau menukar rongsokan ini jadi uang dulu.” sambil kepalanya mengisyarat menunjuk isi gerobak ada tawa di sela-sela jawabannya.
“Biasa setor barang dimana, Pak?” ganti aku yang melontarkan pertanyaan.
“Di tempatnya Pak Hasan, sebentar Mas dan Eneng ini dari mana ya? sepertinya kok sudah akrab dengan daerah sini”
“Saya dari kota, Pak. Oh, kebetulan sekali saya juga ingin mengunjungi kediaman Pak Hasan namun agak lupa jalannya. Sudah lama terakhir kesini. Empat tahun lalu. Boleh kami mengiringi bapak?”
“Oh silakan Neng, bapak malah senang ada temannya.” Aku pun segera kembali masuk ke dalam mobil sedangkan sang bapak sudah bisa menguasai gerobaknya. Perlahan didorongnya gerobak dan mobil kembali menapaki jalan becek itu perlahan. Kami saling beriringan.
Setibanya di halaman rumah Pak Hasan yang akrab kusapa pak dhe ini, ia sedang sibuk dengan bandul-bandul timbangan ditangannya dan mata yang awas menatap garis-garis timbangan seketika tercengang dengan apa yang dilihatnya. Aku berhasil mengalihkan seluruh perhatian pak dhe.
“Ya Allah Rena. Buk,.. Buk keluar sini! Ini ada anak wedok kita yang datang.” setengah berteriak sosok pak dhe yang memakai kaos putih polos dengan kain sarung tak lupa peci yang selalu  dikenakannya nampak tidak berubah sejak terakhir bertemu. Pak dhe memanggil Bu Dhe Asih yang ada di dalam rumah dengan nada kegirangan. Tak hanya bu dhe yang keluar, bapak yang tadi bersama kami pun tercengang berpaling dari kegiatannya yang sedang mengeluarkan rongsokan dari gerobak setelah mendengar seruan pak dhe yang lumayan keras.
Mas Hendra dan aku pun melenggang dari mobil menghampiri sambil menenteng kantong plastik berisi bingkisan untuk mereka.
“Rena?” ucap bapak itu seraya menghampiri Pak Dhe. Aku turut menoleh melihat bapak itu. Apa bapak ini mengenaliku. Tanyaku dalam hati.
“Pak Hasan, apakah ini Rena yang .....”
Belum selesai pertanyaan yang diajukan bapak itu, pak dhe pun sudah mengangguk, mengiyakan pertanyaan yang menggantung itu “Iya Pak. Ini Rena anakmu. Anak kita. Cantik seperti Retno sewaktu dulu, kan?”
Aku yang sudah berfirasat sejak tadi mulai mengerti untuk membaca keadaan yang terjadi sekarang. Sejak bertemu dengan bapak di jalan menuju rumah pak dhe tadi sepertinya aku dituntun untuk larut dalam kilasan-kilasan masa lalunya. Entah mengapa ada spekulasi-spekulasi yang hadir dari keadaan tentram yang tiba-tiba kudapatkan. Wajah bapak itu mirip dengan foto yang selalu nenek tunjukkan padaku sewaktu kecil dulu. Cerita-cerita yang aku dapatkan dari nenek dan pak dhe turut menghiasi benakku yang sedang mengembangkan imajinasi sepanjang jalan. Tidak mau berharap lebih namun ada sedikit kilatan cahaya harapan untuk menjawab rasa penasaran di benak ini. Mungkin angan. Geli sendiri saat aku menyusuri dan menerka jawaban apa yang akan kudapatkan nanti. Namun ada keyakinan tersendiri yang membuatku semakin kuat berimajinasi.
“Pak Dhe, apa benar ini bapak Rena yang sejak saya masih dikandungan ibu dulu belum sempat ada yang mengetahui keberadaannya?” tanyaku terlontar spontan dengan wajah hampir tak percaya.
“Ya Nak ini bapak kandung kamu. Pak Sutrisna. Beliau ini yang pergi untuk mencoba mengadu keberuntungan di negeri orang dengan tujuan untuk memperbaiki kondisi ekonomi keluarga kalian. Walau harus mempertaruhkan dirinya menjadi TKI ilegal disana. Dan kamu harus tahu bahwa nenek kamu dulu menamai kamu dengan nama ‘Rena’ karena ‘Rena’ adalah kependekan nama kedua orang tuamu. Retno-Trisna. Yang nenekmu pikir ini bisa menjadi alat untuk mempertemukan kalian. Maka inilah kebesaran-Nya, bapak dan anak yang terpisah selama 25 tahun lebih, bahkan belum sempat bertemu sejak kamu dalam kandungan ibumu. Sore ini atas kuasa-Nya dipertemukan kembali.” jawaban pak dhe sungguh melegakan, seperti diri diloloskan dari kungkungan penjara. Sejenak ada hawa sejuk yang menghampiri.
“Alhamdulillah Pak Dhe. Rena sangat bersyukur. Tadi dari rumah Rena sudah mengharapkan mendapat suatu kejutan. Ada dorongan tersendiri, tak tahu firasat atau isyarat yang membuat Rena ingin segera kesini. Ternyata ikatan batin yang menuntun Rena kesini untuk bertemu bapak. Tuhan menjawab doa Rena selama ini. Rena ingin berkumpul kembali dengan bapak. Ingin membalas masa-masa yang terenggut keadaan dulu.” Ungkapku penuh senyum dan syukur,  keharuan sehingga hampir terisak.
“Maafkan bapak, Nak. Selama ini bapak telah lalai, terlalu hanyut dengan keadaan. Bukan bapak tidak berusaha mencarimu, tapi bapak tidak kuasa. Bertahun-tahun terlunta-lunta di negeri orang akhirnya atas bantuan seorang teman bapak bisa kembali kesini lagi. Baru setengah tahun ini bapak kembali. Ingin mencari langsung mencari kamu tapi kata Pak Hasan lebih baik bapak menunggu saja karena kamu sedang di luar kota mengikuti suamimu tugas. Semakin senang bapak mendengar kamu akan segera kembali. Bapak sangat berterima kasih terhadap Pak Dhe yang selama ini mau merawat kamu. Menjaga kamu untuk bapak, ibu dan nenek. Besok kita berkunjung ke makan mereka, mau Nak? Mulai saat ini bapak ingin selalu bersama kamu, bapak tidak mau keluarga kita terpecah belah lagi. ” tutur bapak.
“Ya, Pak. Rena mau, Pak.” jawabku mengamini. “Oh ya Pak, kenalkaan ini Mas Hendra, suamiku. Menantu bapak. Aku memperkenlkan dengan haru.
“Saya Hendra, Pak.” Ucap suamiku sambil menjabat tangan bapak.
“Saya Sutrisna. Nak Hendra, terima kasih telah membantu bapak untuk menjaga Rena. Maaf bapak tidak bisa mendampingi Rena bahkan ketika pernikahan kalian dulu.”
“Bunda!” sosok Ilham muncul dari mobil dengan langkah sempoyongan bangun tidur. Bocah lelaki mungil ini segera jatuh dalam rangkulanku.
“Masih ngantuk ya, Sayang? Salam dulu sama Eyang kakung!” dari gendonganku Ilham bersalaman dengan eyangnya. Dan untuk pertama kalinya juga aku bersalaman dengan bapakku.
“Duh Cah Bagus cucu eyang. Sini ikut eyang, Nak! Tapi masih kecut.” Sejenak Ilham sudah berpindah gendongan.
“Sudah ayo temu kangenya dilanjut di dalam saja biar lebih nyaman.” Bu dhe mempersilahkan masuk.
Dari dalam rumah tercipta suasana riuh obrolan dan gelak tawa kami. Sore yang teduh di Kampung Jeglong ini menjadi saksi pertemuan yang tak terduga antara aku dan bapak. Sebuah pertemuan sederhana yang menjadi titik ujung pencarian atas segudang pertanyaan-pertanyaanku yang membutuhkan jawaban pasti. Memang kedatanganku kali ini untuk menjemput kasih yang belum sempat aku kecap dari bapak. Rencana Tuhan memang penuh kejutan. Jawaban Tuhan atas doa umatnya hanya ada tiga ‘ya’, ‘tidak’, dan ‘tunggu’. Aku memutuskan untuk menunggu selama ini. Dan Tuhan mengiyakan pintaku. Bersyukur sekali atas apa yang telah kudapatkan. Hari selanjutnya menjadi hakku bersama bapak untuk mengukir kisah yang kami kehendaki setelah selama ini kami telah memainkan skenario dengan keadaan yang kurang mengesankan karena ‘keterbatasan’.

-SEKIAN-
Semarang, 24 April 2013

Esti Kurnia Dewi

Cerpen 'Kampung Jeglong'

Kampung Jeglong

Saat ini langit yang menaungi kota sangat cerah, bahkan terbilang terik. Aku mengemudikan mobil dengan perlahan karena seperti biasanya jalanan Jakarta yang penuh sesak kendaraan dengan beragam bentuk dan jenis. Semakin menambah sesak kehidupan ibukota. Dalam perjalanan menuju pinggiran kota ini kulihat anakku terlelap di pangkuan ayahnya yang juga nampak pulas, mungkin mereka lelah dengan perjalanan dalam rangka pindahan rumah yang telah kami tempuh dari Jawa Timur kemarin. Kalau tidak, tidak mungkin suamiku meminta aku untuk menggatikannya mengemudikan mobil. Alangkah bahagianya menatap sosok kedua laki-laki dalam hidupku ini. Si kecil yang nampak polos, kala sedang terjaga sesekali dia akan mengoceh polos khas anak balita, menghibur kami orang tuanya dan mampu menghapus penat setelah rutinitas sehari-hari yang harus kami dijalani.  Saat ini usia Ilham sudah hampir menginjak empat tahun. Sedang aktif-aktifnya bermain. Tingkahnya yang tak terduga sering kali menyulut gelak tawa seisi rumah. Ilham adalah buah hati pelengkap kebahagiaan keluarga kecilku bersama Mas Hendra.
Kualihkan pandanganku pada kaca jendela mobil di sebelah bangku Mas Hendra. Sungguh pemandangan yang bertolak belakang dengan kemegahan Jakarta yang selama ini dianggap gemerlap penuh kemewahan sebagai ibukota negara. Pemukiman dengan gubuk-gubuk kumuh yang berderet. Gubuk-gubuk yang dibangun dari material seadanya, kebanyakan gubuk di sini terbuat dari papan bekas, dengan atap asbes ataupun seng, tambalan sana-sini dengan menggunakan karung beras yang menggelantung. Bahkan banyak gubuk yang penuh dengan tambalan kardus sehingga biasa mendapat julukan rumah kardus. Gambaran sisi lain kota yang disebut metropolitan, sungguh mencengangkan.
Mobilku yang tadi merayap akhirnya mendekati pertigaan, setelah memberi kode untuk berbelok, kini kuputar setir mobil ke kiri yang membawa kami masuk perkampungan kumuh yang sejak tadi terus mencuri perhatianku.
Jleeegggg.
”Kenapa, Bun?” tanya mas Indra spontan membuka mata, mungkin karena kaget akibat goncangan yang terlalu keras.
“Sepertinya roda mobilnya terperosok lubang, Yah.” jawabku sekenanya.
“Hati-hati bun, sini biar ayah gantikan saja menyetirnya.” ujarnya dibarengi dengan gerakan menarik lengan ke atas untuk meregangkan sendi dan otot-otot yang kaku setelah bangun tidur.
“Ayah sudah tidak mengantuk lagi kan?”
“Udah nggak kok, Bun” sahut suamiku tersenyum sambil mengisyaratkan agar kami tukar posisi duduk.
Kini Mas Hendra sudah ada di belakang kemudi mobil. Dengan perlahan mobil kembali berjalan, Mas Hendra menyetir dengan hati-hati karena jalanan yang cukup sempit ini berbatu dengan kubangan air di sana-sini. Pemandangan yang lama tak aku jumpai, terakhir berbaur dengan lingkungan yang seperti ini yaitu sekitar empat tahun silam saat aku mengandung Ilham. Ketika itu aku datang sekadar berpamitan pada keluarga pak dhe bahwa aku akan segera mengikuti suami yang dipindah tugaskan ke Jawa Timur.
Aku membuka kaca mobil melongokan kepala melihat sekeliling, seketika bau sengak menyeruak memenuhi indra penciumanku. Melihat Ilham yang terlelap dalam pangkuanku sedang menggaruk hidung dan mendengus tanda tidak nyaman dengan bau ini, segera kututup kembali kaca mobil. Pemandangan dan aroma seperti ini membawaku untuk membuka memori. Sebuah kenangan muncul untuk diingat kembali. Kenangan dan rasa penasaran yang menggatung untuk segera dituntut kejelasannya. Maka inilah salah satu alasanku untuk datang kesini, ada dorongan magis tersendiri yang sebenarnya merupakan tuntutan atas apa yang selama ini kurindukan agar secepatnya mendapat jawaban. Entah apa itu.
“Bun, jalanan disini nggak pernah diperbaiki apa ya, kok dari dulu keadaannya tetap sama seperti ini. Jalannya bergelombang, penuh lubang dengan kubangan air sana-sini, jadi becek.”
“Ya beginilah Yah keadaan Kampung Jeglong dari dulu memang terkesan tidak berubah.”
“Oh ya Bun, dari dulu ayah selalu penasaran ingin menanyakan kenapa kampung ini diberi nama Kampung Jeglong. Unik.” tanya suamiku penasaran diiringi dengan tawanya yang renyah.
“Seperti yang kita lihat ini Yah, banyak lubang di jalan, kubangan air dimana-mana. Kalau kata orang sini yang notabene banyak yang berasal dari Jawa ‘jeglong’ itu berarti terperosok dalam lubang atau kubangan. Jalan yang banyak lubang ini bisa menyebabkan ke-jeglong-jeglong. Nah, disebutlah kampung ini kampung jeglong. Dan memang daerah ini nampak seperti kubangan karena datarannya yang lebih rendah dari daerah lain, sehingga menjadi langganan banjir. Jadi ketika banjir ya seperti kubangan. ”
“Oalah, begitu to Bun ceritanya. Warga sini kreatif ya menamai kampungnya.” canda Mas Hendra.
“Tidak hanya kreatif menamai kampung Yah, warga sini juga punya inisiatif tinggi mengolah limbah sisa rumah tangga, sampah atau bahkan rongsokan. Sebenarnya sih karena tuntutan ekonomi, namun ini yang membuat mereka menjadi jeli, menyulap sampah jadi rupiah.”
“Bunda teringat masa lalu bunda, ya?”
“Sedikit terbawa suasana Yah, bunda dulu juga pernah merasakan pahitnya kehidupan disini. Bersyukur sekarang hidup bunda sudah enak. Dulu sekadar untuk makan saja susah. Harus ikut nenek mengais rongsokan disepanjang jalan yang kiranya bisa dijual baru bisa beli sebungkus nasi yang bisa kami makan berdua.”
“Maaf Bun, apakah Bunda tidak pernah merasa sakit hati kepada bapak yang dari kecil menelantarkan bunda?”
“Dulu pernah terbesit rasa benci dan sakit hati, tapi sebenarnya bunda juga merasa rindu akan kasih sayang seorang bapak yang dari lahir tidak pernah bunda dapatkan. Lambat laun bunda mulai mengerti bahwa ini semua bukan karena bapak yang ingin melepaskan tanggungjawabnya sebagai kepala rumah tangga, tapi karena tekad bapak yang ingin membahagiakan istri dan ibunya.”
“Apa bapak dulu tidak pernah memberi kabar selama kepergiannya?”
“Sampai saat ini bunda tidak pernah menerima kabar ataupun mengetahui keberadaan bapak. Cerita nenek, dulu bapak terpaksa pergi menjadi TKI karena desakan ekonomi. Setelah menikah  beban bapak semakin bertambah. Bapak harus menghidupi ibu dan nenek. Saat itu usia pernikahan bapak dan ibu baru tiga bulan, karena hasil memulung dirasa tidak cukup untuk memenuhi tuntutan hidup, maka bapak putuskan untuk pergi ke negeri seberang sebagai TKI. Itu pun harus dengan embel-embel TKI ilegal, karena bapak tidak memiliki cukup biaya untuk mengurus segala prosedur keberangkatannya.”
“Lalu bagaimana kehidupan bunda selepas bapak pergi?”
“Saat itu bunda belum lahir, sebulan setelah kepergian bapak, ibu baru menyadari bahwa dia sedang mengandung. Dengan susah payah ibu menjaga kandungannya, berusaha memberikan yang terbaik terhadap janinnya walau dengan keadaan yang sangat terbatas. Setiap hari ibu selalu turut membantu nenek untuk memulung, menyusuri jalanan memungut rongsokan dan sore harinya menyetor hasilnya memulung ke tempat pak dhe.”
“Ke tempat Pak Dhe Hasan?”
“Ya, Yah. Pak Dhe Hasan. Orang yang sangat berjasa terhadap hidup bunda dan keluarga bunda. Walau dengan hidupnya yang sederhana, pak dhe senantiasa berusaha untuk membantu para tetangganya. Awal kedekatan keluarga bunda dan keluarga pak dhe karena setiap sorenya nenek dan ibu memang selalu menyetor hasil pulungannya kesana. Selain itu mungkin karena mereka punya latar belakang yang sama. Sama-sama dari orang daerah yang hendak mencari keberuntungan mengadu nasib di ibukota, namun bukan mujur yang diraih, mereka tetap menjadi orang dengan ekonomi di bawah rata-rata bahkan setelah jauh-jauh datang ke Jakarta yang banyak orang bilang lebih kejam daripada ibu tiri.” sahutku mengenang.
“Sampai akhirnya nenek mempercayakan hak asuh bunda pada keluarga pak dhe?”
“Sepeninggal nenek tidak ada sanak saudara yang bisa menampung bunda. Hanya pak dhe kerabat yang bisa nenek percaya. Dulu nenek pernah mengutarakan keinginannya untuk menyekolahkan bunda kepada pak dhe. Dengan harapan agar bunda tidak menjadi kaum tak terpelajar seperti mereka. Nenek ingin agar bunda bisa memiliki nasib yang lebih baik dari mereka. Oleh karena itu nenek selalu menyisihkan sedikit uang untuk ditabung dengan cara dititipkan kepada pak dhe berupa potongan dari setiap uang bayarannya dari menyetor rongsokan. Hal ini nenek lakukan untuk menjaga suatu ketika kalau-kalau  terjadi sesuatu yang buruk terhadapnya sehingga tidak ada lagi yang bisa menghidupi bunda. Memang tidak banyak yang bisa nenek tinggalkan untuk bunda, namun pak dhe selalu ikhlas untuk mencukupi segala kebutuhan bunda setelah bunda diadopsi olehnya.”
“Bu dhe Asih pun memberikan kasih sayang layaknya ibu kandung. Kasih sayang yang sama seperti yang pak dhe dan bu dhe berikan terhadap Mas Aryo dan Mbak Dewi, anak kandung mereka. Walaupun bunda tidak bisa membandingkan kasih sayang orang tua kandung itu seperti apa, karena bapak pergi sebelum dirinya mengetahui bahwa bunda akan segera hadir di dunia sebagai anaknya. Dan ibu sendiri meninggal sesaat setelah melahirkan bunda.” aku sedikit mendengus mengenang masa-masa itu. “Tapi bunda yakin, ibu adalah sosok ibu yang baik. Hanya saja takdir berkehendak seperti ini. Keadaan kami yang tergolong kekurangan sehingga ketika persalinan ibu tidak bisa mendapatkan pelayanan medis yang layak, hanya dengan bantuan dukun bayi saja. Pendarahan pasca melahirkan tak terelakkan, yang justru menghantarkan ibu untuk meregang nyawa. Bunda tidak pernah mengutuk Tuhan mengapa harus memberikan ujian yang seberat ini ketika bunda masih berusia belia. Ditinggalkan bapak, tidak pernah mengecap manisnya kasih sayang orang tua setelah ibu meninggal. Bahkan nenek yang sebagai tumpuan hidup bunda satu-satunya harus berpulang saat bunda masih berusia enam tahun. Sungguh waktu yang singkat sekadar menikmati hidup dengan keluarga kandung.”
“Sudahlah Bun jangan memikirkan yang telah lalu, semua hanya menggorekan luka. Ambil hikmahnya saja. Yang penting kini hidup kita telah sejahtera, dan kebahagiaan ini harus kita bagi dengan orang-orang yang dulu berjasa membesarkan jiwa bunda untuk tetap bertahan dan berjuang dalam menghadapi cobaan” sahut Mas Hendra menguatkan sembari menyetir yang ternyata sejak tadi ia setia mendengarkan ocehanku.
“Ya Yah, bunda hanya hanyut dalam kenangan masa lalu. Dan tujuan bunda kesini selain menyambung silaturahmi dengan penduduk kampung ini juga karena ingin memberitahukan kepada Ilham bahwa hidup itu penuh perjuangan. Tidak serta-merta spontan, segalanya tidaklah instan. Agar dia bisa menghargai sesama. Dan menghargai artinya kerja keras, usaha, berjuang, bertahan dari segala hantaman cobaan hidup.”
“Ayah salut dengan bunda, dan bersyukur bisa memiliki istri yang hebat seperti bunda.” puji Mas Hendra yang jujur saja membuatku tersipu.
“Yah tolong pelankan laju mobilnya, dan berhenti dekat bapak itu, ya!”
Dari jarak sekitar sepuluh meter di depan ada pemandangan yang berhasil mengalihkan perhatianku. Aku melihat sosok tinggi kurus dengan kulit legam  namun, rahang dan alur wajahnya sangat tegas berkarakter. Seorang bapak usia lima puluhan sedang membungkuk di sisi kiri badan jalan berusaha mendorong gerobak untuk membebaskan salah satu roda yang terjebak dalam kubangan. Dengan perlahan roda mobil tetap menggelinding, setelah jarak dirasa dekat segera Mas Hendra mematikan mesin mobil dan aku melangkah keluar setelah memindahkan Ilham yang masih terlelap di jok belakang.
“Selamat sore, Bapak.” sapaku berusaha tidak mengagetkan bapak yang sedang berkonsentrasi membebaskan ban gerobaknya.
“Eh,... sore juga, Neng.” sahut bapak itu dengan sunggingan senyum di wajahnya. Sungguh menentramkan hati ketika sapaanku disambut hangat.
Dengan melonggokan kepalanya dari jendela mobil Mas Hendra memberikan anggukan kecil membalas senyuman bapak yang juga ditujukan kepadanya.
“Bapak baru pulang kerja, ya? Mau pulang di daerah mana, Pak?” tanya Mas Hendra.
“Ya Nak, bapak baru pulang kerja, tapi tidak langsung balik rumah. Mau menukar rongsokan ini jadi uang dulu.” sambil kepalanya mengisyarat menunjuk isi gerobak ada tawa di sela-sela jawabannya.
“Biasa setor barang dimana, Pak?” ganti aku yang melontarkan pertanyaan.
“Di tempatnya Pak Hasan, sebentar Mas dan Eneng ini dari mana ya? sepertinya kok sudah akrab dengan daerah sini”
“Saya dari kota, Pak. Oh, kebetulan sekali saya juga ingin mengunjungi kediaman Pak Hasan namun agak lupa jalannya. Sudah lama terakhir kesini. Empat tahun lalu. Boleh kami mengiringi bapak?”
“Oh silakan Neng, bapak malah senang ada temannya.” Aku pun segera kembali masuk ke dalam mobil sedangkan sang bapak sudah bisa menguasai gerobaknya. Perlahan didorongnya gerobak dan mobil kembali menapaki jalan becek itu perlahan. Kami saling beriringan.
Setibanya di halaman rumah Pak Hasan yang akrab kusapa pak dhe ini, ia sedang sibuk dengan bandul-bandul timbangan ditangannya dan mata yang awas menatap garis-garis timbangan seketika tercengang dengan apa yang dilihatnya. Aku berhasil mengalihkan seluruh perhatian pak dhe.
“Ya Allah Rena. Buk,.. Buk keluar sini! Ini ada anak wedok kita yang datang.” setengah berteriak sosok pak dhe yang memakai kaos putih polos dengan kain sarung tak lupa peci yang selalu  dikenakannya nampak tidak berubah sejak terakhir bertemu. Pak dhe memanggil Bu Dhe Asih yang ada di dalam rumah dengan nada kegirangan. Tak hanya bu dhe yang keluar, bapak yang tadi bersama kami pun tercengang berpaling dari kegiatannya yang sedang mengeluarkan rongsokan dari gerobak setelah mendengar seruan pak dhe yang lumayan keras.
Mas Hendra dan aku pun melenggang dari mobil menghampiri sambil menenteng kantong plastik berisi bingkisan untuk mereka.
“Rena?” ucap bapak itu seraya menghampiri Pak Dhe. Aku turut menoleh melihat bapak itu. Apa bapak ini mengenaliku. Tanyaku dalam hati.
“Pak Hasan, apakah ini Rena yang .....”
Belum selesai pertanyaan yang diajukan bapak itu, pak dhe pun sudah mengangguk, mengiyakan pertanyaan yang menggantung itu “Iya Pak. Ini Rena anakmu. Anak kita. Cantik seperti Retno sewaktu dulu, kan?”
Aku yang sudah berfirasat sejak tadi mulai mengerti untuk membaca keadaan yang terjadi sekarang. Sejak bertemu dengan bapak di jalan menuju rumah pak dhe tadi sepertinya aku dituntun untuk larut dalam kilasan-kilasan masa lalunya. Entah mengapa ada spekulasi-spekulasi yang hadir dari keadaan tentram yang tiba-tiba kudapatkan. Wajah bapak itu mirip dengan foto yang selalu nenek tunjukkan padaku sewaktu kecil dulu. Cerita-cerita yang aku dapatkan dari nenek dan pak dhe turut menghiasi benakku yang sedang mengembangkan imajinasi sepanjang jalan. Tidak mau berharap lebih namun ada sedikit kilatan cahaya harapan untuk menjawab rasa penasaran di benak ini. Mungkin angan. Geli sendiri saat aku menyusuri dan menerka jawaban apa yang akan kudapatkan nanti. Namun ada keyakinan tersendiri yang membuatku semakin kuat berimajinasi.
“Pak Dhe, apa benar ini bapak Rena yang sejak saya masih dikandungan ibu dulu belum sempat ada yang mengetahui keberadaannya?” tanyaku terlontar spontan dengan wajah hampir tak percaya.
“Ya Nak ini bapak kandung kamu. Pak Sutrisna. Beliau ini yang pergi untuk mencoba mengadu keberuntungan di negeri orang dengan tujuan untuk memperbaiki kondisi ekonomi keluarga kalian. Walau harus mempertaruhkan dirinya menjadi TKI ilegal disana. Dan kamu harus tahu bahwa nenek kamu dulu menamai kamu dengan nama ‘Rena’ karena ‘Rena’ adalah kependekan nama kedua orang tuamu. Retno-Trisna. Yang nenekmu pikir ini bisa menjadi alat untuk mempertemukan kalian. Maka inilah kebesaran-Nya, bapak dan anak yang terpisah selama 25 tahun lebih, bahkan belum sempat bertemu sejak kamu dalam kandungan ibumu. Sore ini atas kuasa-Nya dipertemukan kembali.” jawaban pak dhe sungguh melegakan, seperti diri diloloskan dari kungkungan penjara. Sejenak ada hawa sejuk yang menghampiri.
“Alhamdulillah Pak Dhe. Rena sangat bersyukur. Tadi dari rumah Rena sudah mengharapkan mendapat suatu kejutan. Ada dorongan tersendiri, tak tahu firasat atau isyarat yang membuat Rena ingin segera kesini. Ternyata ikatan batin yang menuntun Rena kesini untuk bertemu bapak. Tuhan menjawab doa Rena selama ini. Rena ingin berkumpul kembali dengan bapak. Ingin membalas masa-masa yang terenggut keadaan dulu.” Ungkapku penuh senyum dan syukur,  keharuan sehingga hampir terisak.
“Maafkan bapak, Nak. Selama ini bapak telah lalai, terlalu hanyut dengan keadaan. Bukan bapak tidak berusaha mencarimu, tapi bapak tidak kuasa. Bertahun-tahun terlunta-lunta di negeri orang akhirnya atas bantuan seorang teman bapak bisa kembali kesini lagi. Baru setengah tahun ini bapak kembali. Ingin mencari langsung mencari kamu tapi kata Pak Hasan lebih baik bapak menunggu saja karena kamu sedang di luar kota mengikuti suamimu tugas. Semakin senang bapak mendengar kamu akan segera kembali. Bapak sangat berterima kasih terhadap Pak Dhe yang selama ini mau merawat kamu. Menjaga kamu untuk bapak, ibu dan nenek. Besok kita berkunjung ke makan mereka, mau Nak? Mulai saat ini bapak ingin selalu bersama kamu, bapak tidak mau keluarga kita terpecah belah lagi. ” tutur bapak.
“Ya, Pak. Rena mau, Pak.” jawabku mengamini. “Oh ya Pak, kenalkaan ini Mas Hendra, suamiku. Menantu bapak. Aku memperkenlkan dengan haru.
“Saya Hendra, Pak.” Ucap suamiku sambil menjabat tangan bapak.
“Saya Sutrisna. Nak Hendra, terima kasih telah membantu bapak untuk menjaga Rena. Maaf bapak tidak bisa mendampingi Rena bahkan ketika pernikahan kalian dulu.”
“Bunda!” sosok Ilham muncul dari mobil dengan langkah sempoyongan bangun tidur. Bocah lelaki mungil ini segera jatuh dalam rangkulanku.
“Masih ngantuk ya, Sayang? Salam dulu sama Eyang kakung!” dari gendonganku Ilham bersalaman dengan eyangnya. Dan untuk pertama kalinya juga aku bersalaman dengan bapakku.
“Duh Cah Bagus cucu eyang. Sini ikut eyang, Nak! Tapi masih kecut.” Sejenak Ilham sudah berpindah gendongan.
“Sudah ayo temu kangenya dilanjut di dalam saja biar lebih nyaman.” Bu dhe mempersilahkan masuk.
Dari dalam rumah tercipta suasana riuh obrolan dan gelak tawa kami. Sore yang teduh di Kampung Jeglong ini menjadi saksi pertemuan yang tak terduga antara aku dan bapak. Sebuah pertemuan sederhana yang menjadi titik ujung pencarian atas segudang pertanyaan-pertanyaanku yang membutuhkan jawaban pasti. Memang kedatanganku kali ini untuk menjemput kasih yang belum sempat aku kecap dari bapak. Rencana Tuhan memang penuh kejutan. Jawaban Tuhan atas doa umatnya hanya ada tiga ‘ya’, ‘tidak’, dan ‘tunggu’. Aku memutuskan untuk menunggu selama ini. Dan Tuhan mengiyakan pintaku. Bersyukur sekali atas apa yang telah kudapatkan. Hari selanjutnya menjadi hakku bersama bapak untuk mengukir kisah yang kami kehendaki setelah selama ini kami telah memainkan skenario dengan keadaan yang kurang mengesankan karena ‘keterbatasan’.

-SEKIAN-
Semarang, 24 April 2013

Esti Kurnia Dewi

Cerpen 'Kampung Jeglong'

Kampung Jeglong

Saat ini langit yang menaungi kota sangat cerah, bahkan terbilang terik. Aku mengemudikan mobil dengan perlahan karena seperti biasanya jalanan Jakarta yang penuh sesak kendaraan dengan beragam bentuk dan jenis. Semakin menambah sesak kehidupan ibukota. Dalam perjalanan menuju pinggiran kota ini kulihat anakku terlelap di pangkuan ayahnya yang juga nampak pulas, mungkin mereka lelah dengan perjalanan dalam rangka pindahan rumah yang telah kami tempuh dari Jawa Timur kemarin. Kalau tidak, tidak mungkin suamiku meminta aku untuk menggatikannya mengemudikan mobil. Alangkah bahagianya menatap sosok kedua laki-laki dalam hidupku ini. Si kecil yang nampak polos, kala sedang terjaga sesekali dia akan mengoceh polos khas anak balita, menghibur kami orang tuanya dan mampu menghapus penat setelah rutinitas sehari-hari yang harus kami dijalani.  Saat ini usia Ilham sudah hampir menginjak empat tahun. Sedang aktif-aktifnya bermain. Tingkahnya yang tak terduga sering kali menyulut gelak tawa seisi rumah. Ilham adalah buah hati pelengkap kebahagiaan keluarga kecilku bersama Mas Hendra.
Kualihkan pandanganku pada kaca jendela mobil di sebelah bangku Mas Hendra. Sungguh pemandangan yang bertolak belakang dengan kemegahan Jakarta yang selama ini dianggap gemerlap penuh kemewahan sebagai ibukota negara. Pemukiman dengan gubuk-gubuk kumuh yang berderet. Gubuk-gubuk yang dibangun dari material seadanya, kebanyakan gubuk di sini terbuat dari papan bekas, dengan atap asbes ataupun seng, tambalan sana-sini dengan menggunakan karung beras yang menggelantung. Bahkan banyak gubuk yang penuh dengan tambalan kardus sehingga biasa mendapat julukan rumah kardus. Gambaran sisi lain kota yang disebut metropolitan, sungguh mencengangkan.
Mobilku yang tadi merayap akhirnya mendekati pertigaan, setelah memberi kode untuk berbelok, kini kuputar setir mobil ke kiri yang membawa kami masuk perkampungan kumuh yang sejak tadi terus mencuri perhatianku.
Jleeegggg.
”Kenapa, Bun?” tanya mas Indra spontan membuka mata, mungkin karena kaget akibat goncangan yang terlalu keras.
“Sepertinya roda mobilnya terperosok lubang, Yah.” jawabku sekenanya.
“Hati-hati bun, sini biar ayah gantikan saja menyetirnya.” ujarnya dibarengi dengan gerakan menarik lengan ke atas untuk meregangkan sendi dan otot-otot yang kaku setelah bangun tidur.
“Ayah sudah tidak mengantuk lagi kan?”
“Udah nggak kok, Bun” sahut suamiku tersenyum sambil mengisyaratkan agar kami tukar posisi duduk.
Kini Mas Hendra sudah ada di belakang kemudi mobil. Dengan perlahan mobil kembali berjalan, Mas Hendra menyetir dengan hati-hati karena jalanan yang cukup sempit ini berbatu dengan kubangan air di sana-sini. Pemandangan yang lama tak aku jumpai, terakhir berbaur dengan lingkungan yang seperti ini yaitu sekitar empat tahun silam saat aku mengandung Ilham. Ketika itu aku datang sekadar berpamitan pada keluarga pak dhe bahwa aku akan segera mengikuti suami yang dipindah tugaskan ke Jawa Timur.
Aku membuka kaca mobil melongokan kepala melihat sekeliling, seketika bau sengak menyeruak memenuhi indra penciumanku. Melihat Ilham yang terlelap dalam pangkuanku sedang menggaruk hidung dan mendengus tanda tidak nyaman dengan bau ini, segera kututup kembali kaca mobil. Pemandangan dan aroma seperti ini membawaku untuk membuka memori. Sebuah kenangan muncul untuk diingat kembali. Kenangan dan rasa penasaran yang menggatung untuk segera dituntut kejelasannya. Maka inilah salah satu alasanku untuk datang kesini, ada dorongan magis tersendiri yang sebenarnya merupakan tuntutan atas apa yang selama ini kurindukan agar secepatnya mendapat jawaban. Entah apa itu.
“Bun, jalanan disini nggak pernah diperbaiki apa ya, kok dari dulu keadaannya tetap sama seperti ini. Jalannya bergelombang, penuh lubang dengan kubangan air sana-sini, jadi becek.”
“Ya beginilah Yah keadaan Kampung Jeglong dari dulu memang terkesan tidak berubah.”
“Oh ya Bun, dari dulu ayah selalu penasaran ingin menanyakan kenapa kampung ini diberi nama Kampung Jeglong. Unik.” tanya suamiku penasaran diiringi dengan tawanya yang renyah.
“Seperti yang kita lihat ini Yah, banyak lubang di jalan, kubangan air dimana-mana. Kalau kata orang sini yang notabene banyak yang berasal dari Jawa ‘jeglong’ itu berarti terperosok dalam lubang atau kubangan. Jalan yang banyak lubang ini bisa menyebabkan ke-jeglong-jeglong. Nah, disebutlah kampung ini kampung jeglong. Dan memang daerah ini nampak seperti kubangan karena datarannya yang lebih rendah dari daerah lain, sehingga menjadi langganan banjir. Jadi ketika banjir ya seperti kubangan. ”
“Oalah, begitu to Bun ceritanya. Warga sini kreatif ya menamai kampungnya.” canda Mas Hendra.
“Tidak hanya kreatif menamai kampung Yah, warga sini juga punya inisiatif tinggi mengolah limbah sisa rumah tangga, sampah atau bahkan rongsokan. Sebenarnya sih karena tuntutan ekonomi, namun ini yang membuat mereka menjadi jeli, menyulap sampah jadi rupiah.”
“Bunda teringat masa lalu bunda, ya?”
“Sedikit terbawa suasana Yah, bunda dulu juga pernah merasakan pahitnya kehidupan disini. Bersyukur sekarang hidup bunda sudah enak. Dulu sekadar untuk makan saja susah. Harus ikut nenek mengais rongsokan disepanjang jalan yang kiranya bisa dijual baru bisa beli sebungkus nasi yang bisa kami makan berdua.”
“Maaf Bun, apakah Bunda tidak pernah merasa sakit hati kepada bapak yang dari kecil menelantarkan bunda?”
“Dulu pernah terbesit rasa benci dan sakit hati, tapi sebenarnya bunda juga merasa rindu akan kasih sayang seorang bapak yang dari lahir tidak pernah bunda dapatkan. Lambat laun bunda mulai mengerti bahwa ini semua bukan karena bapak yang ingin melepaskan tanggungjawabnya sebagai kepala rumah tangga, tapi karena tekad bapak yang ingin membahagiakan istri dan ibunya.”
“Apa bapak dulu tidak pernah memberi kabar selama kepergiannya?”
“Sampai saat ini bunda tidak pernah menerima kabar ataupun mengetahui keberadaan bapak. Cerita nenek, dulu bapak terpaksa pergi menjadi TKI karena desakan ekonomi. Setelah menikah  beban bapak semakin bertambah. Bapak harus menghidupi ibu dan nenek. Saat itu usia pernikahan bapak dan ibu baru tiga bulan, karena hasil memulung dirasa tidak cukup untuk memenuhi tuntutan hidup, maka bapak putuskan untuk pergi ke negeri seberang sebagai TKI. Itu pun harus dengan embel-embel TKI ilegal, karena bapak tidak memiliki cukup biaya untuk mengurus segala prosedur keberangkatannya.”
“Lalu bagaimana kehidupan bunda selepas bapak pergi?”
“Saat itu bunda belum lahir, sebulan setelah kepergian bapak, ibu baru menyadari bahwa dia sedang mengandung. Dengan susah payah ibu menjaga kandungannya, berusaha memberikan yang terbaik terhadap janinnya walau dengan keadaan yang sangat terbatas. Setiap hari ibu selalu turut membantu nenek untuk memulung, menyusuri jalanan memungut rongsokan dan sore harinya menyetor hasilnya memulung ke tempat pak dhe.”
“Ke tempat Pak Dhe Hasan?”
“Ya, Yah. Pak Dhe Hasan. Orang yang sangat berjasa terhadap hidup bunda dan keluarga bunda. Walau dengan hidupnya yang sederhana, pak dhe senantiasa berusaha untuk membantu para tetangganya. Awal kedekatan keluarga bunda dan keluarga pak dhe karena setiap sorenya nenek dan ibu memang selalu menyetor hasil pulungannya kesana. Selain itu mungkin karena mereka punya latar belakang yang sama. Sama-sama dari orang daerah yang hendak mencari keberuntungan mengadu nasib di ibukota, namun bukan mujur yang diraih, mereka tetap menjadi orang dengan ekonomi di bawah rata-rata bahkan setelah jauh-jauh datang ke Jakarta yang banyak orang bilang lebih kejam daripada ibu tiri.” sahutku mengenang.
“Sampai akhirnya nenek mempercayakan hak asuh bunda pada keluarga pak dhe?”
“Sepeninggal nenek tidak ada sanak saudara yang bisa menampung bunda. Hanya pak dhe kerabat yang bisa nenek percaya. Dulu nenek pernah mengutarakan keinginannya untuk menyekolahkan bunda kepada pak dhe. Dengan harapan agar bunda tidak menjadi kaum tak terpelajar seperti mereka. Nenek ingin agar bunda bisa memiliki nasib yang lebih baik dari mereka. Oleh karena itu nenek selalu menyisihkan sedikit uang untuk ditabung dengan cara dititipkan kepada pak dhe berupa potongan dari setiap uang bayarannya dari menyetor rongsokan. Hal ini nenek lakukan untuk menjaga suatu ketika kalau-kalau  terjadi sesuatu yang buruk terhadapnya sehingga tidak ada lagi yang bisa menghidupi bunda. Memang tidak banyak yang bisa nenek tinggalkan untuk bunda, namun pak dhe selalu ikhlas untuk mencukupi segala kebutuhan bunda setelah bunda diadopsi olehnya.”
“Bu dhe Asih pun memberikan kasih sayang layaknya ibu kandung. Kasih sayang yang sama seperti yang pak dhe dan bu dhe berikan terhadap Mas Aryo dan Mbak Dewi, anak kandung mereka. Walaupun bunda tidak bisa membandingkan kasih sayang orang tua kandung itu seperti apa, karena bapak pergi sebelum dirinya mengetahui bahwa bunda akan segera hadir di dunia sebagai anaknya. Dan ibu sendiri meninggal sesaat setelah melahirkan bunda.” aku sedikit mendengus mengenang masa-masa itu. “Tapi bunda yakin, ibu adalah sosok ibu yang baik. Hanya saja takdir berkehendak seperti ini. Keadaan kami yang tergolong kekurangan sehingga ketika persalinan ibu tidak bisa mendapatkan pelayanan medis yang layak, hanya dengan bantuan dukun bayi saja. Pendarahan pasca melahirkan tak terelakkan, yang justru menghantarkan ibu untuk meregang nyawa. Bunda tidak pernah mengutuk Tuhan mengapa harus memberikan ujian yang seberat ini ketika bunda masih berusia belia. Ditinggalkan bapak, tidak pernah mengecap manisnya kasih sayang orang tua setelah ibu meninggal. Bahkan nenek yang sebagai tumpuan hidup bunda satu-satunya harus berpulang saat bunda masih berusia enam tahun. Sungguh waktu yang singkat sekadar menikmati hidup dengan keluarga kandung.”
“Sudahlah Bun jangan memikirkan yang telah lalu, semua hanya menggorekan luka. Ambil hikmahnya saja. Yang penting kini hidup kita telah sejahtera, dan kebahagiaan ini harus kita bagi dengan orang-orang yang dulu berjasa membesarkan jiwa bunda untuk tetap bertahan dan berjuang dalam menghadapi cobaan” sahut Mas Hendra menguatkan sembari menyetir yang ternyata sejak tadi ia setia mendengarkan ocehanku.
“Ya Yah, bunda hanya hanyut dalam kenangan masa lalu. Dan tujuan bunda kesini selain menyambung silaturahmi dengan penduduk kampung ini juga karena ingin memberitahukan kepada Ilham bahwa hidup itu penuh perjuangan. Tidak serta-merta spontan, segalanya tidaklah instan. Agar dia bisa menghargai sesama. Dan menghargai artinya kerja keras, usaha, berjuang, bertahan dari segala hantaman cobaan hidup.”
“Ayah salut dengan bunda, dan bersyukur bisa memiliki istri yang hebat seperti bunda.” puji Mas Hendra yang jujur saja membuatku tersipu.
“Yah tolong pelankan laju mobilnya, dan berhenti dekat bapak itu, ya!”
Dari jarak sekitar sepuluh meter di depan ada pemandangan yang berhasil mengalihkan perhatianku. Aku melihat sosok tinggi kurus dengan kulit legam  namun, rahang dan alur wajahnya sangat tegas berkarakter. Seorang bapak usia lima puluhan sedang membungkuk di sisi kiri badan jalan berusaha mendorong gerobak untuk membebaskan salah satu roda yang terjebak dalam kubangan. Dengan perlahan roda mobil tetap menggelinding, setelah jarak dirasa dekat segera Mas Hendra mematikan mesin mobil dan aku melangkah keluar setelah memindahkan Ilham yang masih terlelap di jok belakang.
“Selamat sore, Bapak.” sapaku berusaha tidak mengagetkan bapak yang sedang berkonsentrasi membebaskan ban gerobaknya.
“Eh,... sore juga, Neng.” sahut bapak itu dengan sunggingan senyum di wajahnya. Sungguh menentramkan hati ketika sapaanku disambut hangat.
Dengan melonggokan kepalanya dari jendela mobil Mas Hendra memberikan anggukan kecil membalas senyuman bapak yang juga ditujukan kepadanya.
“Bapak baru pulang kerja, ya? Mau pulang di daerah mana, Pak?” tanya Mas Hendra.
“Ya Nak, bapak baru pulang kerja, tapi tidak langsung balik rumah. Mau menukar rongsokan ini jadi uang dulu.” sambil kepalanya mengisyarat menunjuk isi gerobak ada tawa di sela-sela jawabannya.
“Biasa setor barang dimana, Pak?” ganti aku yang melontarkan pertanyaan.
“Di tempatnya Pak Hasan, sebentar Mas dan Eneng ini dari mana ya? sepertinya kok sudah akrab dengan daerah sini”
“Saya dari kota, Pak. Oh, kebetulan sekali saya juga ingin mengunjungi kediaman Pak Hasan namun agak lupa jalannya. Sudah lama terakhir kesini. Empat tahun lalu. Boleh kami mengiringi bapak?”
“Oh silakan Neng, bapak malah senang ada temannya.” Aku pun segera kembali masuk ke dalam mobil sedangkan sang bapak sudah bisa menguasai gerobaknya. Perlahan didorongnya gerobak dan mobil kembali menapaki jalan becek itu perlahan. Kami saling beriringan.
Setibanya di halaman rumah Pak Hasan yang akrab kusapa pak dhe ini, ia sedang sibuk dengan bandul-bandul timbangan ditangannya dan mata yang awas menatap garis-garis timbangan seketika tercengang dengan apa yang dilihatnya. Aku berhasil mengalihkan seluruh perhatian pak dhe.
“Ya Allah Rena. Buk,.. Buk keluar sini! Ini ada anak wedok kita yang datang.” setengah berteriak sosok pak dhe yang memakai kaos putih polos dengan kain sarung tak lupa peci yang selalu  dikenakannya nampak tidak berubah sejak terakhir bertemu. Pak dhe memanggil Bu Dhe Asih yang ada di dalam rumah dengan nada kegirangan. Tak hanya bu dhe yang keluar, bapak yang tadi bersama kami pun tercengang berpaling dari kegiatannya yang sedang mengeluarkan rongsokan dari gerobak setelah mendengar seruan pak dhe yang lumayan keras.
Mas Hendra dan aku pun melenggang dari mobil menghampiri sambil menenteng kantong plastik berisi bingkisan untuk mereka.
“Rena?” ucap bapak itu seraya menghampiri Pak Dhe. Aku turut menoleh melihat bapak itu. Apa bapak ini mengenaliku. Tanyaku dalam hati.
“Pak Hasan, apakah ini Rena yang .....”
Belum selesai pertanyaan yang diajukan bapak itu, pak dhe pun sudah mengangguk, mengiyakan pertanyaan yang menggantung itu “Iya Pak. Ini Rena anakmu. Anak kita. Cantik seperti Retno sewaktu dulu, kan?”
Aku yang sudah berfirasat sejak tadi mulai mengerti untuk membaca keadaan yang terjadi sekarang. Sejak bertemu dengan bapak di jalan menuju rumah pak dhe tadi sepertinya aku dituntun untuk larut dalam kilasan-kilasan masa lalunya. Entah mengapa ada spekulasi-spekulasi yang hadir dari keadaan tentram yang tiba-tiba kudapatkan. Wajah bapak itu mirip dengan foto yang selalu nenek tunjukkan padaku sewaktu kecil dulu. Cerita-cerita yang aku dapatkan dari nenek dan pak dhe turut menghiasi benakku yang sedang mengembangkan imajinasi sepanjang jalan. Tidak mau berharap lebih namun ada sedikit kilatan cahaya harapan untuk menjawab rasa penasaran di benak ini. Mungkin angan. Geli sendiri saat aku menyusuri dan menerka jawaban apa yang akan kudapatkan nanti. Namun ada keyakinan tersendiri yang membuatku semakin kuat berimajinasi.
“Pak Dhe, apa benar ini bapak Rena yang sejak saya masih dikandungan ibu dulu belum sempat ada yang mengetahui keberadaannya?” tanyaku terlontar spontan dengan wajah hampir tak percaya.
“Ya Nak ini bapak kandung kamu. Pak Sutrisna. Beliau ini yang pergi untuk mencoba mengadu keberuntungan di negeri orang dengan tujuan untuk memperbaiki kondisi ekonomi keluarga kalian. Walau harus mempertaruhkan dirinya menjadi TKI ilegal disana. Dan kamu harus tahu bahwa nenek kamu dulu menamai kamu dengan nama ‘Rena’ karena ‘Rena’ adalah kependekan nama kedua orang tuamu. Retno-Trisna. Yang nenekmu pikir ini bisa menjadi alat untuk mempertemukan kalian. Maka inilah kebesaran-Nya, bapak dan anak yang terpisah selama 25 tahun lebih, bahkan belum sempat bertemu sejak kamu dalam kandungan ibumu. Sore ini atas kuasa-Nya dipertemukan kembali.” jawaban pak dhe sungguh melegakan, seperti diri diloloskan dari kungkungan penjara. Sejenak ada hawa sejuk yang menghampiri.
“Alhamdulillah Pak Dhe. Rena sangat bersyukur. Tadi dari rumah Rena sudah mengharapkan mendapat suatu kejutan. Ada dorongan tersendiri, tak tahu firasat atau isyarat yang membuat Rena ingin segera kesini. Ternyata ikatan batin yang menuntun Rena kesini untuk bertemu bapak. Tuhan menjawab doa Rena selama ini. Rena ingin berkumpul kembali dengan bapak. Ingin membalas masa-masa yang terenggut keadaan dulu.” Ungkapku penuh senyum dan syukur,  keharuan sehingga hampir terisak.
“Maafkan bapak, Nak. Selama ini bapak telah lalai, terlalu hanyut dengan keadaan. Bukan bapak tidak berusaha mencarimu, tapi bapak tidak kuasa. Bertahun-tahun terlunta-lunta di negeri orang akhirnya atas bantuan seorang teman bapak bisa kembali kesini lagi. Baru setengah tahun ini bapak kembali. Ingin mencari langsung mencari kamu tapi kata Pak Hasan lebih baik bapak menunggu saja karena kamu sedang di luar kota mengikuti suamimu tugas. Semakin senang bapak mendengar kamu akan segera kembali. Bapak sangat berterima kasih terhadap Pak Dhe yang selama ini mau merawat kamu. Menjaga kamu untuk bapak, ibu dan nenek. Besok kita berkunjung ke makan mereka, mau Nak? Mulai saat ini bapak ingin selalu bersama kamu, bapak tidak mau keluarga kita terpecah belah lagi. ” tutur bapak.
“Ya, Pak. Rena mau, Pak.” jawabku mengamini. “Oh ya Pak, kenalkaan ini Mas Hendra, suamiku. Menantu bapak. Aku memperkenlkan dengan haru.
“Saya Hendra, Pak.” Ucap suamiku sambil menjabat tangan bapak.
“Saya Sutrisna. Nak Hendra, terima kasih telah membantu bapak untuk menjaga Rena. Maaf bapak tidak bisa mendampingi Rena bahkan ketika pernikahan kalian dulu.”
“Bunda!” sosok Ilham muncul dari mobil dengan langkah sempoyongan bangun tidur. Bocah lelaki mungil ini segera jatuh dalam rangkulanku.
“Masih ngantuk ya, Sayang? Salam dulu sama Eyang kakung!” dari gendonganku Ilham bersalaman dengan eyangnya. Dan untuk pertama kalinya juga aku bersalaman dengan bapakku.
“Duh Cah Bagus cucu eyang. Sini ikut eyang, Nak! Tapi masih kecut.” Sejenak Ilham sudah berpindah gendongan.
“Sudah ayo temu kangenya dilanjut di dalam saja biar lebih nyaman.” Bu dhe mempersilahkan masuk.
Dari dalam rumah tercipta suasana riuh obrolan dan gelak tawa kami. Sore yang teduh di Kampung Jeglong ini menjadi saksi pertemuan yang tak terduga antara aku dan bapak. Sebuah pertemuan sederhana yang menjadi titik ujung pencarian atas segudang pertanyaan-pertanyaanku yang membutuhkan jawaban pasti. Memang kedatanganku kali ini untuk menjemput kasih yang belum sempat aku kecap dari bapak. Rencana Tuhan memang penuh kejutan. Jawaban Tuhan atas doa umatnya hanya ada tiga ‘ya’, ‘tidak’, dan ‘tunggu’. Aku memutuskan untuk menunggu selama ini. Dan Tuhan mengiyakan pintaku. Bersyukur sekali atas apa yang telah kudapatkan. Hari selanjutnya menjadi hakku bersama bapak untuk mengukir kisah yang kami kehendaki setelah selama ini kami telah memainkan skenario dengan keadaan yang kurang mengesankan karena ‘keterbatasan’.

-SEKIAN-
Semarang, 24 April 2013

Esti Kurnia Dewi