Kampung Jeglong
Saat ini langit
yang menaungi kota sangat cerah, bahkan terbilang terik. Aku mengemudikan mobil
dengan perlahan karena seperti biasanya jalanan Jakarta yang penuh sesak
kendaraan dengan beragam bentuk dan jenis. Semakin menambah sesak kehidupan
ibukota. Dalam perjalanan menuju pinggiran kota ini kulihat anakku terlelap di
pangkuan ayahnya yang juga nampak pulas, mungkin mereka lelah dengan perjalanan
dalam rangka pindahan rumah yang telah kami tempuh dari Jawa Timur kemarin.
Kalau tidak, tidak mungkin suamiku meminta aku untuk menggatikannya
mengemudikan mobil. Alangkah bahagianya menatap sosok kedua laki-laki dalam
hidupku ini. Si kecil yang nampak polos, kala sedang terjaga sesekali dia akan mengoceh
polos khas anak balita, menghibur kami orang tuanya dan mampu menghapus penat setelah
rutinitas sehari-hari yang harus kami dijalani. Saat ini usia Ilham sudah hampir menginjak
empat tahun. Sedang aktif-aktifnya bermain. Tingkahnya yang tak terduga sering
kali menyulut gelak tawa seisi rumah. Ilham adalah buah hati pelengkap
kebahagiaan keluarga kecilku bersama Mas Hendra.
Kualihkan
pandanganku pada kaca jendela mobil di sebelah bangku Mas Hendra. Sungguh
pemandangan yang bertolak belakang dengan kemegahan Jakarta yang selama ini
dianggap gemerlap penuh kemewahan sebagai ibukota negara. Pemukiman dengan
gubuk-gubuk kumuh yang berderet. Gubuk-gubuk yang dibangun dari material
seadanya, kebanyakan gubuk di sini terbuat dari papan bekas, dengan atap asbes
ataupun seng, tambalan sana-sini dengan menggunakan karung beras yang
menggelantung. Bahkan banyak gubuk yang penuh dengan tambalan kardus sehingga
biasa mendapat julukan rumah kardus. Gambaran sisi lain kota yang disebut
metropolitan, sungguh mencengangkan.
Mobilku yang tadi
merayap akhirnya mendekati pertigaan, setelah memberi kode untuk berbelok, kini
kuputar setir mobil ke kiri yang membawa kami masuk perkampungan kumuh yang
sejak tadi terus mencuri perhatianku.
Jleeegggg.
”Kenapa, Bun?”
tanya mas Indra spontan membuka mata, mungkin karena kaget akibat goncangan
yang terlalu keras.
“Sepertinya roda
mobilnya terperosok lubang, Yah.” jawabku sekenanya.
“Hati-hati bun,
sini biar ayah gantikan saja menyetirnya.” ujarnya dibarengi dengan gerakan
menarik lengan ke atas untuk meregangkan sendi dan otot-otot yang kaku setelah
bangun tidur.
“Ayah sudah tidak mengantuk
lagi kan?”
“Udah nggak kok, Bun”
sahut suamiku tersenyum sambil mengisyaratkan agar kami tukar posisi duduk.
Kini Mas Hendra
sudah ada di belakang kemudi mobil. Dengan perlahan mobil kembali berjalan, Mas
Hendra menyetir dengan hati-hati karena jalanan yang cukup sempit ini berbatu
dengan kubangan air di sana-sini. Pemandangan yang lama tak aku jumpai,
terakhir berbaur dengan lingkungan yang seperti ini yaitu sekitar empat tahun
silam saat aku mengandung Ilham. Ketika itu aku datang sekadar berpamitan pada
keluarga pak dhe bahwa aku akan segera mengikuti suami yang dipindah tugaskan
ke Jawa Timur.
Aku membuka kaca
mobil melongokan kepala melihat sekeliling, seketika bau sengak menyeruak
memenuhi indra penciumanku. Melihat Ilham yang terlelap dalam pangkuanku sedang
menggaruk hidung dan mendengus tanda tidak nyaman dengan bau ini, segera
kututup kembali kaca mobil. Pemandangan dan aroma seperti ini membawaku untuk
membuka memori. Sebuah kenangan muncul untuk diingat kembali. Kenangan dan rasa
penasaran yang menggatung untuk segera dituntut kejelasannya. Maka inilah salah
satu alasanku untuk datang kesini, ada dorongan magis tersendiri yang
sebenarnya merupakan tuntutan atas apa yang selama ini kurindukan agar
secepatnya mendapat jawaban. Entah apa itu.
“Bun, jalanan
disini nggak pernah diperbaiki apa ya, kok dari dulu keadaannya tetap sama
seperti ini. Jalannya bergelombang, penuh lubang dengan kubangan air sana-sini,
jadi becek.”
“Ya beginilah Yah
keadaan Kampung Jeglong dari dulu memang terkesan tidak berubah.”
“Oh ya Bun, dari
dulu ayah selalu penasaran ingin menanyakan kenapa kampung ini diberi nama
Kampung Jeglong. Unik.” tanya suamiku penasaran diiringi dengan tawanya yang
renyah.
“Seperti yang kita
lihat ini Yah, banyak lubang di jalan, kubangan air dimana-mana. Kalau kata
orang sini yang notabene banyak yang berasal dari Jawa ‘jeglong’ itu berarti terperosok
dalam lubang atau kubangan. Jalan yang banyak lubang ini bisa menyebabkan ke-jeglong-jeglong. Nah, disebutlah kampung
ini kampung jeglong. Dan memang daerah ini nampak seperti kubangan karena
datarannya yang lebih rendah dari daerah lain, sehingga menjadi langganan
banjir. Jadi ketika banjir ya seperti kubangan. ”
“Oalah, begitu to Bun
ceritanya. Warga sini kreatif ya menamai kampungnya.” canda Mas Hendra.
“Tidak hanya
kreatif menamai kampung Yah, warga sini juga punya inisiatif tinggi mengolah
limbah sisa rumah tangga, sampah atau bahkan rongsokan. Sebenarnya sih karena
tuntutan ekonomi, namun ini yang membuat mereka menjadi jeli, menyulap sampah
jadi rupiah.”
“Bunda teringat
masa lalu bunda, ya?”
“Sedikit terbawa
suasana Yah, bunda dulu juga pernah merasakan pahitnya kehidupan disini.
Bersyukur sekarang hidup bunda sudah enak. Dulu sekadar untuk makan saja susah.
Harus ikut nenek mengais rongsokan disepanjang jalan yang kiranya bisa dijual
baru bisa beli sebungkus nasi yang bisa kami makan berdua.”
“Maaf Bun, apakah Bunda
tidak pernah merasa sakit hati kepada bapak yang dari kecil menelantarkan
bunda?”
“Dulu pernah
terbesit rasa benci dan sakit hati, tapi sebenarnya bunda juga merasa rindu
akan kasih sayang seorang bapak yang dari lahir tidak pernah bunda dapatkan.
Lambat laun bunda mulai mengerti bahwa ini semua bukan karena bapak yang ingin
melepaskan tanggungjawabnya sebagai kepala rumah tangga, tapi karena tekad
bapak yang ingin membahagiakan istri dan ibunya.”
“Apa bapak dulu
tidak pernah memberi kabar selama kepergiannya?”
“Sampai saat ini
bunda tidak pernah menerima kabar ataupun mengetahui keberadaan bapak. Cerita
nenek, dulu bapak terpaksa pergi menjadi TKI karena desakan ekonomi. Setelah
menikah beban bapak semakin bertambah.
Bapak harus menghidupi ibu dan nenek. Saat itu usia pernikahan bapak dan ibu
baru tiga bulan, karena hasil memulung dirasa tidak cukup untuk memenuhi
tuntutan hidup, maka bapak putuskan untuk pergi ke negeri seberang sebagai TKI.
Itu pun harus dengan embel-embel TKI
ilegal, karena bapak tidak memiliki cukup biaya untuk mengurus segala prosedur
keberangkatannya.”
“Lalu bagaimana
kehidupan bunda selepas bapak pergi?”
“Saat itu bunda
belum lahir, sebulan setelah kepergian bapak, ibu baru menyadari bahwa dia
sedang mengandung. Dengan susah payah ibu menjaga kandungannya, berusaha
memberikan yang terbaik terhadap janinnya walau dengan keadaan yang sangat
terbatas. Setiap hari ibu selalu turut membantu nenek untuk memulung, menyusuri
jalanan memungut rongsokan dan sore harinya menyetor hasilnya memulung ke
tempat pak dhe.”
“Ke tempat Pak Dhe
Hasan?”
“Ya, Yah. Pak Dhe
Hasan. Orang yang sangat berjasa terhadap hidup bunda dan keluarga bunda. Walau
dengan hidupnya yang sederhana, pak dhe senantiasa berusaha untuk membantu para
tetangganya. Awal kedekatan keluarga bunda dan keluarga pak dhe karena setiap
sorenya nenek dan ibu memang selalu menyetor hasil pulungannya kesana. Selain
itu mungkin karena mereka punya latar belakang yang sama. Sama-sama dari orang
daerah yang hendak mencari keberuntungan mengadu nasib di ibukota, namun bukan
mujur yang diraih, mereka tetap menjadi orang dengan ekonomi di bawah rata-rata
bahkan setelah jauh-jauh datang ke Jakarta yang banyak orang bilang lebih kejam
daripada ibu tiri.” sahutku mengenang.
“Sampai akhirnya
nenek mempercayakan hak asuh bunda pada keluarga pak dhe?”
“Sepeninggal nenek
tidak ada sanak saudara yang bisa menampung bunda. Hanya pak dhe kerabat yang
bisa nenek percaya. Dulu nenek pernah mengutarakan keinginannya untuk
menyekolahkan bunda kepada pak dhe. Dengan harapan agar bunda tidak menjadi
kaum tak terpelajar seperti mereka. Nenek ingin agar bunda bisa memiliki nasib
yang lebih baik dari mereka. Oleh karena itu nenek selalu menyisihkan sedikit
uang untuk ditabung dengan cara dititipkan kepada pak dhe berupa potongan dari
setiap uang bayarannya dari menyetor rongsokan. Hal ini nenek lakukan untuk
menjaga suatu ketika kalau-kalau terjadi
sesuatu yang buruk terhadapnya sehingga tidak ada lagi yang bisa menghidupi
bunda. Memang tidak banyak yang bisa nenek tinggalkan untuk bunda, namun pak
dhe selalu ikhlas untuk mencukupi segala kebutuhan bunda setelah bunda diadopsi
olehnya.”
“Bu dhe Asih pun
memberikan kasih sayang layaknya ibu kandung. Kasih sayang yang sama seperti
yang pak dhe dan bu dhe berikan terhadap Mas Aryo dan Mbak Dewi, anak kandung
mereka. Walaupun bunda tidak bisa membandingkan kasih sayang orang tua kandung
itu seperti apa, karena bapak pergi sebelum dirinya mengetahui bahwa bunda akan
segera hadir di dunia sebagai anaknya. Dan ibu sendiri meninggal sesaat setelah
melahirkan bunda.” aku sedikit mendengus mengenang masa-masa itu. “Tapi bunda
yakin, ibu adalah sosok ibu yang baik. Hanya saja takdir berkehendak seperti
ini. Keadaan kami yang tergolong kekurangan sehingga ketika persalinan ibu
tidak bisa mendapatkan pelayanan medis yang layak, hanya dengan bantuan dukun
bayi saja. Pendarahan pasca melahirkan tak terelakkan, yang justru menghantarkan
ibu untuk meregang nyawa. Bunda tidak pernah mengutuk Tuhan mengapa harus
memberikan ujian yang seberat ini ketika bunda masih berusia belia.
Ditinggalkan bapak, tidak pernah mengecap manisnya kasih sayang orang tua
setelah ibu meninggal. Bahkan nenek yang sebagai tumpuan hidup bunda satu-satunya
harus berpulang saat bunda masih berusia enam tahun. Sungguh waktu yang singkat
sekadar menikmati hidup dengan keluarga kandung.”
“Sudahlah Bun jangan
memikirkan yang telah lalu, semua hanya menggorekan luka. Ambil hikmahnya saja.
Yang penting kini hidup kita telah sejahtera, dan kebahagiaan ini harus kita
bagi dengan orang-orang yang dulu berjasa membesarkan jiwa bunda untuk tetap
bertahan dan berjuang dalam menghadapi cobaan” sahut Mas Hendra menguatkan
sembari menyetir yang ternyata sejak tadi ia setia mendengarkan ocehanku.
“Ya Yah, bunda
hanya hanyut dalam kenangan masa lalu. Dan tujuan bunda kesini selain
menyambung silaturahmi dengan penduduk kampung ini juga karena ingin
memberitahukan kepada Ilham bahwa hidup itu penuh perjuangan. Tidak serta-merta
spontan, segalanya tidaklah instan. Agar dia bisa menghargai sesama. Dan
menghargai artinya kerja keras, usaha, berjuang, bertahan dari segala hantaman
cobaan hidup.”
“Ayah salut dengan
bunda, dan bersyukur bisa memiliki istri yang hebat seperti bunda.” puji Mas
Hendra yang jujur saja membuatku tersipu.
“Yah tolong
pelankan laju mobilnya, dan berhenti dekat bapak itu, ya!”
Dari jarak sekitar
sepuluh meter di depan ada pemandangan yang berhasil mengalihkan perhatianku.
Aku melihat sosok tinggi kurus dengan kulit legam namun, rahang dan alur wajahnya sangat tegas
berkarakter. Seorang bapak usia lima puluhan sedang membungkuk di sisi kiri
badan jalan berusaha mendorong gerobak untuk membebaskan salah satu roda yang
terjebak dalam kubangan. Dengan perlahan roda mobil tetap menggelinding,
setelah jarak dirasa dekat segera Mas Hendra mematikan mesin mobil dan aku
melangkah keluar setelah memindahkan Ilham yang masih terlelap di jok belakang.
“Selamat sore,
Bapak.” sapaku berusaha tidak mengagetkan bapak yang sedang berkonsentrasi
membebaskan ban gerobaknya.
“Eh,... sore juga,
Neng.” sahut bapak itu dengan sunggingan senyum di wajahnya. Sungguh
menentramkan hati ketika sapaanku disambut hangat.
Dengan melonggokan
kepalanya dari jendela mobil Mas Hendra memberikan anggukan kecil membalas
senyuman bapak yang juga ditujukan kepadanya.
“Bapak baru pulang
kerja, ya? Mau pulang di daerah mana, Pak?” tanya Mas Hendra.
“Ya Nak, bapak baru
pulang kerja, tapi tidak langsung balik rumah. Mau menukar rongsokan ini jadi
uang dulu.” sambil kepalanya mengisyarat menunjuk isi gerobak ada tawa di
sela-sela jawabannya.
“Biasa setor barang
dimana, Pak?” ganti aku yang melontarkan pertanyaan.
“Di tempatnya Pak
Hasan, sebentar Mas dan Eneng ini dari mana ya? sepertinya kok sudah akrab
dengan daerah sini”
“Saya dari kota,
Pak. Oh, kebetulan sekali saya juga ingin mengunjungi kediaman Pak Hasan namun
agak lupa jalannya. Sudah lama terakhir kesini. Empat tahun lalu. Boleh kami
mengiringi bapak?”
“Oh silakan Neng,
bapak malah senang ada temannya.” Aku pun segera kembali masuk ke dalam mobil
sedangkan sang bapak sudah bisa menguasai gerobaknya. Perlahan didorongnya
gerobak dan mobil kembali menapaki jalan becek itu perlahan. Kami saling
beriringan.
Setibanya di
halaman rumah Pak Hasan yang akrab kusapa pak dhe ini, ia sedang sibuk dengan
bandul-bandul timbangan ditangannya dan mata yang awas menatap garis-garis
timbangan seketika tercengang dengan apa yang dilihatnya. Aku berhasil
mengalihkan seluruh perhatian pak dhe.
“Ya Allah Rena.
Buk,.. Buk keluar sini! Ini ada anak wedok
kita yang datang.” setengah berteriak sosok pak dhe yang memakai kaos putih
polos dengan kain sarung tak lupa peci yang selalu dikenakannya nampak tidak berubah sejak
terakhir bertemu. Pak dhe memanggil Bu Dhe Asih yang ada di dalam rumah dengan
nada kegirangan. Tak hanya bu dhe yang keluar, bapak yang tadi bersama kami pun
tercengang berpaling dari kegiatannya yang sedang mengeluarkan rongsokan dari
gerobak setelah mendengar seruan pak dhe yang lumayan keras.
Mas Hendra dan aku
pun melenggang dari mobil menghampiri sambil menenteng kantong plastik berisi
bingkisan untuk mereka.
“Rena?” ucap bapak
itu seraya menghampiri Pak Dhe. Aku turut menoleh melihat bapak itu. Apa bapak
ini mengenaliku. Tanyaku dalam hati.
“Pak Hasan, apakah
ini Rena yang .....”
Belum selesai
pertanyaan yang diajukan bapak itu, pak dhe pun sudah mengangguk, mengiyakan
pertanyaan yang menggantung itu “Iya Pak. Ini Rena anakmu. Anak kita. Cantik
seperti Retno sewaktu dulu, kan?”
Aku yang sudah
berfirasat sejak tadi mulai mengerti untuk membaca keadaan yang terjadi
sekarang. Sejak bertemu dengan bapak di jalan menuju rumah pak dhe tadi
sepertinya aku dituntun untuk larut dalam kilasan-kilasan masa lalunya. Entah
mengapa ada spekulasi-spekulasi yang hadir dari keadaan tentram yang tiba-tiba
kudapatkan. Wajah bapak itu mirip dengan foto yang selalu nenek tunjukkan
padaku sewaktu kecil dulu. Cerita-cerita yang aku dapatkan dari nenek dan pak
dhe turut menghiasi benakku yang sedang mengembangkan imajinasi sepanjang
jalan. Tidak mau berharap lebih namun ada sedikit kilatan cahaya harapan untuk
menjawab rasa penasaran di benak ini. Mungkin angan. Geli sendiri saat aku
menyusuri dan menerka jawaban apa yang akan kudapatkan nanti. Namun ada
keyakinan tersendiri yang membuatku semakin kuat berimajinasi.
“Pak Dhe, apa benar
ini bapak Rena yang sejak saya masih dikandungan ibu dulu belum sempat ada yang
mengetahui keberadaannya?” tanyaku terlontar spontan dengan wajah hampir tak
percaya.
“Ya Nak ini bapak
kandung kamu. Pak Sutrisna. Beliau ini yang pergi untuk mencoba mengadu
keberuntungan di negeri orang dengan tujuan untuk memperbaiki kondisi ekonomi
keluarga kalian. Walau harus mempertaruhkan dirinya menjadi TKI ilegal disana.
Dan kamu harus tahu bahwa nenek kamu dulu menamai kamu dengan nama ‘Rena’
karena ‘Rena’ adalah kependekan nama kedua orang tuamu. Retno-Trisna. Yang
nenekmu pikir ini bisa menjadi alat untuk mempertemukan kalian. Maka inilah
kebesaran-Nya, bapak dan anak yang terpisah selama 25 tahun lebih, bahkan belum
sempat bertemu sejak kamu dalam kandungan ibumu. Sore ini atas kuasa-Nya
dipertemukan kembali.” jawaban pak dhe sungguh melegakan, seperti diri
diloloskan dari kungkungan penjara. Sejenak ada hawa sejuk yang menghampiri.
“Alhamdulillah Pak
Dhe. Rena sangat bersyukur. Tadi dari rumah Rena sudah mengharapkan mendapat
suatu kejutan. Ada dorongan tersendiri, tak tahu firasat atau isyarat yang
membuat Rena ingin segera kesini. Ternyata ikatan batin yang menuntun Rena
kesini untuk bertemu bapak. Tuhan menjawab doa Rena selama ini. Rena ingin berkumpul
kembali dengan bapak. Ingin membalas masa-masa yang terenggut keadaan dulu.”
Ungkapku penuh senyum dan syukur,
keharuan sehingga hampir terisak.
“Maafkan bapak,
Nak. Selama ini bapak telah lalai, terlalu hanyut dengan keadaan. Bukan bapak
tidak berusaha mencarimu, tapi bapak tidak kuasa. Bertahun-tahun terlunta-lunta
di negeri orang akhirnya atas bantuan seorang teman bapak bisa kembali kesini
lagi. Baru setengah tahun ini bapak kembali. Ingin mencari langsung mencari
kamu tapi kata Pak Hasan lebih baik bapak menunggu saja karena kamu sedang di
luar kota mengikuti suamimu tugas. Semakin senang bapak mendengar kamu akan
segera kembali. Bapak sangat berterima kasih terhadap Pak Dhe yang selama ini
mau merawat kamu. Menjaga kamu untuk bapak, ibu dan nenek. Besok kita
berkunjung ke makan mereka, mau Nak? Mulai saat ini bapak ingin selalu bersama
kamu, bapak tidak mau keluarga kita terpecah belah lagi. ” tutur bapak.
“Ya, Pak. Rena mau,
Pak.” jawabku mengamini. “Oh ya Pak, kenalkaan ini Mas Hendra, suamiku. Menantu
bapak. Aku memperkenlkan dengan haru.
“Saya Hendra, Pak.”
Ucap suamiku sambil menjabat tangan bapak.
“Saya Sutrisna. Nak
Hendra, terima kasih telah membantu bapak untuk menjaga Rena. Maaf bapak tidak
bisa mendampingi Rena bahkan ketika pernikahan kalian dulu.”
“Bunda!” sosok
Ilham muncul dari mobil dengan langkah sempoyongan bangun tidur. Bocah lelaki
mungil ini segera jatuh dalam rangkulanku.
“Masih ngantuk ya,
Sayang? Salam dulu sama Eyang kakung!” dari gendonganku Ilham bersalaman dengan
eyangnya. Dan untuk pertama kalinya juga aku bersalaman dengan bapakku.
“Duh Cah Bagus cucu eyang. Sini ikut eyang, Nak!
Tapi masih kecut.” Sejenak Ilham sudah berpindah gendongan.
“Sudah ayo temu
kangenya dilanjut di dalam saja biar lebih nyaman.” Bu dhe mempersilahkan
masuk.
Dari dalam rumah
tercipta suasana riuh obrolan dan gelak tawa kami. Sore yang teduh di Kampung
Jeglong ini menjadi saksi pertemuan yang tak terduga antara aku dan bapak.
Sebuah pertemuan sederhana yang menjadi titik ujung pencarian atas segudang
pertanyaan-pertanyaanku yang membutuhkan jawaban pasti. Memang kedatanganku
kali ini untuk menjemput kasih yang belum sempat aku kecap dari bapak. Rencana
Tuhan memang penuh kejutan. Jawaban Tuhan atas doa umatnya hanya ada tiga ‘ya’,
‘tidak’, dan ‘tunggu’. Aku memutuskan untuk menunggu selama ini. Dan Tuhan
mengiyakan pintaku. Bersyukur sekali atas apa yang telah kudapatkan. Hari
selanjutnya menjadi hakku bersama bapak untuk mengukir kisah yang kami
kehendaki setelah selama ini kami telah memainkan skenario dengan keadaan yang
kurang mengesankan karena ‘keterbatasan’.
-SEKIAN-
Semarang, 24 April 2013
Esti Kurnia Dewi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar